A Tribute to Choi Yo-sam


Dear readers, in my 1st post in this blog, I want to share about Choi Yo-sam, 33 years old, who died 2 days ago after collapsing during a boxing fight on Christmas Day. In my humble opinion, his heroic struggle to win the fight have to be appreciated. It makes a big inspiration for me.
Here is the complete story:


Hari ini, lewat surat kabar dan media internet saya membaca sebuah kisah tragis tentang kematian seorang petinju Korea Selatan, Choi Yo-sam, setelah mengalahkan petinju Indonesia Heri Amol dalam perebutan gelar juara kelas layang WBO Intercontinental pada tanggal 25 Desember lalu di Seoul. Choi Yo-sam, sebuah nama yang belum pernah saya ketahui ataupun saya dengar sebelumnya. Tepatnya baru saya ketahui pasca Hari Natal kemarin dari surat kabar setelah ia dinyatakan mati suri oleh pihak rumah sakit Asan Medical Centre 1 hari pasca pertarungannya tersebut karena mengalami gegar otak. 3 Januari 2008, akhirnya ia meninggal dunia.

Suatu kenyataan ironis bagi Choi Yo-sam setelah keberhasilannya memenangkan pertarungan tersebut. Di ronde ke-12, setelah keunggulan Choi Yo-sam pada 11 ronde sebelumnya, sebuah kontradiksi dialaminya. Mungkin karena faktor kelelahan fisik yang dialaminya dalam usianya yang sudah 33 tahun. Choi kewalahan dan akhirnya terpukul jatuh pada detik-detik menjelang berakhirnya ronde ke-12. Dalam detik-detik terakhir tersebut Choi berhasil bangkit kembali dan menuntaskan perlawanannya meskipun hanya beberapa saat saja. Setelah ronde ke-12 berakhir, ia kolaps di atas ring dan harus diangkat dengan tandu untuk kemudian dibawa ke rumah sakit. Ia tetap dinyatakan menang karena dominasinya pada 11 ronde awal, dan keunggulannya ini diakui pula secara terbuka oleh Pino Bahari, promotor Heri Amol.

Hal yang luar biasa bagi saya adalah dedikasi Choi untuk menuntaskan pertarungannya di atas ring, setelah ia dipukul KO lawannya menjelang berakhirnya ronde 12. Meskipun ada sebagian pengamat yang memperkirakan bahwa cedera Choi kemungkinan merupakan cedera lama, namun hal tersebut tidak menghambat saya untuk meberikan apresiasi sebesar-besarnya terhadap Choi. Ia tetap berkeinginan besar untuk bangkit kembali dan tidak merelakan kemenangannya yang sudah di depan mata. Keputusannya untuk menuntaskan pertarungan dan mempertahankan kemenangan patut diacungi jempol. Bagi beberapa orang mungkin itu merupakan kisah tragis, akan tetapi saya yakin, setidak-tidaknya bagi saya sendiri, itu bukanlah kisah tragis melainkan fantastis yang membawa bangga nama keluarga, pendukungnya, dan juga negaranya.

Pembaca, seberapa seringkah dalam kesulitan kita selalu mengatakan pada diri kita sendiri: 'Aku sudah berusaha maksimal'?
Berapa kali kita putus asa, menyerah, dan melakukan pembenaran diri dengan mengatasnamakan alasan 'pasrah' padahal sebenarnya usaha kita belumlah apa-apa, atau bahkan ironisnya mungkin kita belum berusaha apa-apa?
Kapankah terakhir kalinya Anda mengalami situasi saat pada awalnya berikthiar 'siap berjuang hingga titik-darah terakhir untuk mencapai cita-cita', tapi kemudian saat menjalaninya dan kemudian mengalami hambatan dalam perjalanan realita, gairah untuk mencapai tujuan tersebut tiba-tiba padam?

Kisah Choi seharusnya menjadi inspirasi bagi kita semua. Dalam hambatan, saat kita memutuskan untuk menyerah, mungkin perjuangan kita sebenarnya belumlah seberapa. Kita terlalu mudah memberikan limitasi 'maksimal' dalam proses perjuangan kita dan kemudian menyerah sebelum keinginan kita terealisasi.

Mungkin ada sebagian dari Anda yang menganggap bahwa perjuangan Choi toh sia-sia karena dibayar dengan nyawanya, pendapat yang sah-sah saja. Tapi bayangkan kemungkinan ini: Saat terjatuh di akhir ronde ke-12 ia mengambil keputusan untuk tidak berdiri kembali, menyerah kalah, dan cedera otak tersebut tetap menuntaskan usianya. Apa yang akan terjadi, pembaca?

Namanya hanya dikenang sebagai petinju yang mengalami kematian di atas ring, tidak lebih dari itu. Ia tidak lagi menuntaskan usianya sebagai seorang juara, dan hanyalah sebagai juara yang kehilangan mahkota. Terlebih lagi, namanya tidak akan pernah saya kenal, tidak akan dibanggakan lagi oleh penggemarnya, dan dikenang oleh masyarakat negaranya.

Dedikasi Choi ternyata tidak hanya itu saja. Setelah kematiannya, pihak keluarga memutuskan untuk mendonorkan organ tubuh Choi, termasuk jantungnya, kepada enam orang yang membutuhkannya. Choi tidak mati sia-sia, ia telah menuntaskan perjalanan hidupnya dengan kisah sukses dan memberikan arti kepada sesamanya.

Pembaca, jangan pernah biarkan cita-cita Anda memudar sebelum Anda mencapainya.

0 comments: