Fengshui and/or (Another) Myths’ Affects to Human Belief


“There are no limitation to the mind except those we acknowledge.” (Napoleon Hill)

Menjadi sedikit kesulitan bagi saya kali ini untuk dalam rangka pencarian rangkaian kata yang tepat untuk pemilihan judul di atas, Pembaca. Saya ingin mengulas masalah kepercayaan terhadap Fengshui dan mitos-mitos (lainnya) dalam konteks mempertimbangkan pengaruh-pengaruh yang bisa ditimbulkannya. Namun tidak mudah bagi saya untuk mengambil keputusan awal apakah sebenarnya Fengshui dapat dikategorikan sebagai mitos-mitos biasa yang menjadi “warisan” kepercayaan masa lampau ataukah sebenarnya merupakan sebuah landasan teori tentang keseimbangan alam semesta?

Dewasa ini Fengshui telah menjadi salah satu disiplin ilmu tersendiri, sehingga saya tidak dapat serta-merta mengasosiasikannya sebagai bagian dari mitos-mitos sederhana yang banyak terdapat dalam masyarakat tertentu. Namun bagaimanapun juga, pemahaman tentang Fengshui terkadang masih juga melibatkan alasan-alasan yang nampaknya tidak berkait langsung dengan logika dan realitas, yang tentunya tidak salah pula apabila sebagian masyarakat modern menganggapnya sebagai mitos biasa yang tidak perlu dipertimbangkan.

Saya sedikit terkejut saat seorang pakar Fengshui bernama Marie Diamond menjadi salah satu guru Hukum Tarik-menarik (Law of Attraction) seperti yang dimuat dalam “The Secret”. Nampaknya, pemahaman Fengshui dan Hukum Tarik-menarik tidak dapat dikaitkan begitu saja, bahkan bisa dibilang pula saling bertentangan. Hukum Tarik-menarik meyakini bahwa kita dapat mendapatkan segala sesuatu dengan memikirkannya terlebih dahulu, sementara ilmu Fengshui malahan banyak memberikan begitu banyak pantangan dan larangan yang harus dihindari dalam pengaturan tata ruang dan hal-hal lain tanpa sudut pandang realitas yang apabila dilanggar akan menjadi alasan bagi kita dalam terhambatnya suatu keberhasilan tujuan.

Meskipun beberapa pakar Fengshui telah mengulas berbagai logika sebagai argumentasi bagi orang-orang yang mempertanyakan realitas Fengshui, namun tetap saja tidak memberikan kejelasan yang pasti dapat ditarik kesimpulan dengan akal sehat, setidaknya bagi saya sendiri. Semisal, pantangan adanya kamar kecil / WC dalam rumah bertingkat tepat berada di atas kamar tidur lantai dasar, karena dapat menimbulkan chi (energi/aura) negatif bagi penghuni kamar tidur. Alasan rasional yang diberikan oleh beberapa pakar Fengshui yang menyatakan bahwa kondisi tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dalam estetika dan kesehatan pun tampaknya masih belum bisa saya terima begitu saja. Bagaimanapun juga, apabila diberikan pengaturan yang nyaman dan higienis pada kondisi tata ruang di atas, harusnya alasan tersebut bisa diabaikan, bukan?

Namun setelah melalui berbagai macam pertimbangan, saya menemukan sebuah pemikiran yang menjadi landasan umum bagi alasan-alasan yang mendasari teori Fengshui dan kaitannya dengan Hukum Tarik-menarik. Seperti yang telah dibicarakan dalam pembahasan saya terdahulu (dengan judul “Synergetic Approach for Subconscious Mind”), Hukum Tarik-menarik mengikuti getaran yang ditimbulkan oleh pikiran bawah sadar kita. Sehingga meskipun nampaknya pikiran sadar (conscious mind) kita tidak merasakan getaran (atau “chi” dalam istilah Fengshui) bernuansa negatif yang ditimbulkan akibat ketidaksesuaian tata ruang, sangat dimungkinkan apabila ternyata pikiran bawah sadar (subconscious mind) kita tidak berperilaku sama. Dengan kata lain, pikiran bawah sadar yang bekerja lebih sensitif daripada pikiran sadar bisa jadi merasakan ketidaknyamanan akibat ketidaksesuaian tata ruang tersebut, dan menimbulkan getaran negatif yang memberikan pengaruh buruk terhadap kehidupan kita.

Berbagai macam aturan-aturan dalam Fengshui nampaknya memang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan harmoni, yang tentu saja dirasakan lebih peka oleh pikiran bawah sadar kita. Sehingga bisa dinyatakan meskipun seseorang tidak mempercayai Fengshui dan tidak mengaplikasikannya dalam tata ruang bisa jadi tetap menerima getaran negatif yang timbul dari pikiran bawah sadar akibat ketidaksesuaian yang terjadi.

Dengan pemahaman ini, pertanyaan apakah sebenarnya ilmu Fengshui bisa dikaitkan dengan Hukum Tarik-menarik bisa terjawab. Setelah melalui pertimbangan lebih lanjut sebagaimana saya ulas di atas, in my humble opinion, I must say: “It really could be correlated”. Namun dengan catatan, bahwa sebenarnya ini tidak mutlak.

Saya rasa tidaklah perlu bagi seseorang untuk mempunyai rasa ketakutan dan paranoid yang berlebihan terhadap penerapan Fengshui. Tidak perlu pula tindakan ekstrem secara serta-merta untuk merombak tata ruangnya saat ditemukan adanya ketidaksesuaian dengan ilmu Fengshui. Apa yang mendasari pernyataan saya ini?

Menurut hemat saya, apabila ilmu Fengshui mempertimbangkan getaran yang ditimbulkan oleh pemikiran bawah sadar, dengan sendirinya seyogianya kita tinggal bekerjasama dengan pikiran bawah sadar saat sesuatu hal yang sebelumnya kita sebut sebagai “ketidaksesuaian” tersebut ditemukan. Sesuatu yang sebelumnya diterima oleh pikiran bawah sadar sebagai “ketidaksesuaian” bisa kita komunikasikan secara intensif untuk diterima sebagai “kesesuaian”. Maka chi buruk yang tadinya menjadi getaran negatif bagi diri kita, dapat kita ubah sendiri menjadi sebuah getaran yang positif dengan meresapi dalam-dalam adanya “kesesuaian” ke pikiran bawah sadar kita.

Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pula pada mitos-mitos tertentu yang ada di sekitar kita. Sebagaimana contoh apakah sebenarnya ada yang disebut sebagai angka sial (sebagian orang menyebut angka “4” atau “13”), dan apakah benar pula memang bisa terjadi melindas seekor kucing dalam perjalanan akan menyebab kan kesialan? Secara realistis memang kita harus menjawabnya bulat-bulat dengan kata “Tidak”. Namun Hukum Tarik-menarik sebenarnya memberikan jawaban yang sedikit berbeda.

Dalam Hukum Tarik-menarik, kenyataan akan timbul akibat dari pemikiran yang menimbulkan getaran. Apabila dikaitkan dengan pemikiran bawah sadar, bisa jadi sebuah mitos yang berlaku telah diterima oleh pikiran bawah sadar melalui sebuah proses yang telah tertanam sejak lama. Sehingga segala sesuatu bisa terjadi sesuai mitos yang ada karena sebenarnya pikiran bawah sadar kita sendiri yang “menariknya” melalui getaran negatif.

Maka sangat dimungkinkan sesuatu mitos yang berkembang bisa menimbulkan akibat yang bersesuaian, bahkan kepada seseorang yang sebenarnya dalam pikiran sadarnya nyata-nyata tidak mempercayai mitos tersebut. Ini dapat terjadi karena sangat terbuka kemungkinan pikiran bawah sadar seseorang tersebut telah menerima secara simultan informasi mengenai mitos yang berlaku dalam masyarakatnya (bahkan pula semenjak seseorang tersebut lahir) dan mempengaruhi kepercayaan bawah sadarnya (Belief).

Ini menjadi suatu bahan pemikiran bagi kita bahwa suatu perkembangan suatu mitos dalam masyarakat dapat memberikan efek yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Carl Gustav Jung (1875-1961), ahli psikologi yang mencetuskan teori “psikologi analitis” bahkan menaruh minat yang besar terhadap penelitian mitologi-mitologi dari belahan dunia Afrika hingga bagian selatan Amerika Serikat yang dianggapnya berkorelasi dengan pemikiran bawah sadar.

Saat mitos tersebut telah diserap pikiran bawah sadar manusia melalui proses yang terus-menerus bahkan semenjak manusia tersebut lahir akan ditengarai membawa getaran-getaran yang sebenarnya “menarik” hal-hal yang besesuaian dengan mitos. Hal ini tampaknya menjadi jawaban pula mengapa suatu mitos yang melekat dalam suatu daerah tertentu bisa menimbulkan efek yang bersesuaian dengan mitos bagi para penduduk di daerah tersebut, namun kejadian yang sama tidak menimbulkan akibat apa-apa di daerah dimana mitos tersebut tidak dikenal.

Seperti halnya masyarakat Italia yang lebih mempercayai angka “17” sebagai angka sial, dan bukannya angka “4” pada masyarakat China atau angka “13” pada masyarakat Eropa lainnya dan Amerika. Dapat dipahami pula mengapa orang China menganggap angka “4” sebagai angka sial karena berbunyi sama seperti kata “mati” (sama-sama diucapkan sebagai “shi”) dalam bahasa China, sehingga pikiran bawah sadar serta-merta menerimanya sebagai suatu getaran yang buruk. Sangat terbuka sekali kemungkinan masyarakat China benar-benar menerima akibat dari mitos angka “4” tersebut, namun tidak dirasakan sama sekali oleh masyarakat Italia, dan sebaliknya.

Bagaimanakah cara mengatasi mitos yang sudah berkembang ini? Tidak lain dan tidak bukan, tentu saja dengan bekerjasama dengan pikiran bawah sadar pula secara intensif untuk memaknai suatu mitos sebagai hal yang sesungguhnya benar-benar tidak relevan. Sebagai contoh pertimbangan, seseorang yang mempunyai pemahaman religius yang amat kuat sangat jarang sekali mendapat kendala yang berkaitan dengan mitos dan ketidaksesuaian Fengshui. Hal ini dimungkinkan karena ia mempunyai kepercayaan kuat (Belief) tentang religinya hingga ke pikiran bawah sadar sehingga tidak memberikan peluang terhadap pemahaman mitos dan ketidaksesuaian Fengshui di dalamnya.

Inilah yang terjadi dalam dunia ini menurut pemikiran saya, Pembaca, bahwa Fengshui dan mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat memang ternyata sangat dimungkinkan untuk dapat memberikan pengaruh kepada kehidupan kita. Namun dengan terus mengkomunikasikan Belief yang lebih kuat kepada pikiran bawah sadar bahwa segalanya baik adanya, niscaya kita akan terhindar dari akibat yang ditimbulkan oleh mitos-mitos tersebut tanpa perlu mempercayainya dan dapat memaknai segala bentuk yang keseluruhannya dipandang sebagai “kesesuaian” yang berlaku di dunia ini.

Read More......

Synergetic Approach for Subconscious Mind


“We all have ability. The difference is how to use it.” (Stevie Wonder)

Pembaca, jangan menyalahkan saya karena lagi-lagi saya "terpaksa" harus membahas kembali masalah ”Law of Attraction” dalam kaitannya pula dengan film dokumenter dan buku ”The Secret” lewat tulisan saya kali ini. Masalahnya, dalam satu tahun terakhir ini, topik ini selalu saja berhasil meng-attract (menarik) minat orang-orang yang haus akan motivasi dan proses pencarian makna serta tujuan dalam menjalani kehidupan yang sangat berharga ini.

Akibatnya, hal-hal baru yang berkaitan dengan topik ini selalu saja saya temukan pula, sehingga saya merasa perlu untuk menuangkan ide-ide menarik yang saya anggap memiliki keterkaitan dengan “Law of Attraction” tersebut dan mendukung pengungkapan “The Secret” secara lebih mendalam.

Dalam tulisan saya sebelum ini, yang berjudul “Behind ‘The Secret’”, terdapat sedikit pembahasan mengenai ketidaksesuaian ide dalam menjalankan langkah-langkah pemanfaatan “Law of Attraction” antara Michael J. Losier dalam bukunya yang berjudul sama dengan “The Secret”.

Menurut Michael J. Losier, ”Law of Attraction” akan selalu merespon gerakan yang didasari oleh perasaan subjek pelaku, bukan oleh kata-kata yang diucapkan. Maka subjek pelaku perlu menyadari pula getaran pikiran yang ditimbulkan dari kata-katanya, apakah merupakan getaran yang menimbulkan nuansa positif bagi pikiran, ataukah getaran yang sebaliknya menimbulkan nuansa negatif.

Oleh karenanya, meskipun teknik afirmasi (mengucapkan kata-kata positif untuk membangun diri) tetap penting pula dan merupakan bagian dari teori NLP, sedianya patut diperhatikan pula bahwa sebuah penegasan / kata-kata (afirmasi) positif pun mampu memberikan getaran yang negatif kepada subjek pelaku. Sebagai solusinya, Michael J. Losier menganjurkan untuk menambahkan kata-kata: ”Saya sedang dalam proses...”

Penegasan Michael J. Losier tersebut seakan-akan tidak mendukung adanya kegiatan ”berpura-pura” yang dianjurkan dalam ”The Secret”. Kata-kata ”sedang dalam proses...” akan melemahkan kegiatan untuk ”berpura-pura seakan-akan pelaku sudah mendapatkannya”.

Meskipun dalam tulisan sebelumnya saya mempunyai pendapat bahwa kedua ide tersebut secara prinsipal tidak bertentangan, saya akui pula bahwa argumen yang saya berikan masih cukup lemah untuk diperdebatkan kembali. Namun baru-baru ini saya akhirnya dapat menemukan sebuah pendapat yang lebih mampu untuk ”menjembatani” kedua ide yang tampaknya saling bertentangan tersebut.

Pendapat yang sungguh menarik ini diungkapkan oleh Adi W. Gunawan, The Re-Educator & Mind Navigator, dalam bukunya yang berjudul ”The Secret of Mindset”. Dalam buku tersebut diungkapkan cara mengubah belief lewat tindakan afirmasi dan visualisasi, yang akan berjalan dengan efektif apabila tindakan tersebut berhasil masuk ke dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind) untuk kemudian diterima, dimengerti, dan terintegrasi.

Salah satu teknik yang dahsyat untuk bisa menjangkau pikiran bawah sadar tersebut adalah Synergetic Approach, yang terdiri dari 6 komponen yang saling terkait, yaitu: percaya (belief), penguatan (positive reinforcement), bahasa simbolik (symbolic language), ideomotor response, tiga puluh menit yang ajaib (the magic 30 minutes), dan precognitive dream.

Komponen pertama yaitu ”percaya”, yang menitikberatkan pada rasa percaya bahwa kita bisa berubah, menjadi landasan bagi bekerjanya komponen berikutnya. Pikiran bawah sadar bekerja berdasarkan program yang spesifik dan akan selalu mencapai setiap tujuan yang telah diprogramkan ke dalamnya.

Komponen kedua adalah penguatan atau positive reinforcement. Penguatan ini harus dilakukan tiap hari, idealnya 21 kali berturut-turut dalam kondisi hipnosis. Jadi apabila dalam kondisi hipnosis saja butuh 21 kali penguatan atau repetisi, apabila penguatan dilakukan dalam kondisi sadar bisa membutuhkan ratusan kali lamanya.

Komponen ketiga yaitu bahasa simbolik. Maksudnya adalah saat melakukan afirmasi / visualisasi, hendaknya kita mempunyai simbol yang mewakili hal yang kita pikirkan sehingga mampu dicerna dengan lebih mudah oleh pikiran bawah sadar.

Komponen keempat adalah ideomotor response, dan yang digunakan dalam teknik ini adalah tulisan tangan tegak bersambung, bukan diketik dengan komputer. Ini karena saat kita menulis, informasi yang kita tuliskan menembus filter pikiran sadar dan langsung masuk ke pikiran bawah sadar. Pikiran sadar kita mungkin menolak informasi yang kita masukkan ke pikiran bawah sadar, namun penolakan ini dapat kita atasi dengan menggunakan tulisan tangan. Suka atau tidak suka, begitu kita tulis, informasi itu akan langsung masuk ke pikiran bawah sadar.

Komponen yang kelima yaitu 30 menit yang ajaib atau "the magic of 30 minutes". Seperti yang telah dibahas dalam komponen kedua, sebuah kondisi yang paling kondusif untuk memasukkan sugesti atau afirmasi adalah dalam kondisi hipnosis. Bagaimana jika kita tidak mendalami hipnosis? Ada satu momen yang bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk mencapai kondisi yang mirip dengan kondisi waktu hipnosis, yaitu waktu menjelang kita tidur. Tepatnya 30 menit sebelum kita tidur. Momen ini disebut ajaib karena merupakan celah sempit dalam koridor waktu sadar kita yang terjadi secara alamiah dan dapat dimanfaatkan untuk menembus pikiran bawah sadar dengan sangat mudah.

Komponen yang keenam yaitu precognitive dream, merupakan kelanjutan proses yang berkaitan erat dengan komponen kelima dimana terbentuk sebuah mimpi yang mampu diproses dan diintegrasikan ke dalam pikiran bawah sadar kita. Mimpi ini bisa dibentuk oleh informasi yang kita masukkan ke pikiran saat 30 menit yang ajaib. Syaratnya, kegiatan lain tidak boleh dilakukan setelah kita menuliskan afirmasi kita sebelum tidur.

Teknik Synergetic Approach ini dapat menjadi jawaban bagaimana cara kita menghindari kemungkinan adanya getaran buruk dari yang ditimbulkan oleh afirmasi yang kita lakukan, seperti yang dikuatirkan oleh Michael J. Losier. Jadi dengan adanya teknik ini tampaknya kita tidak perlu lagi memperlemah afirmasi yang kita lakukan dengan mengucapkan kalimat: ”Saya sedang dalam proses.....”, sehingga kita dapat leluasa melakukan afirmasi dengan berpura-pura seakan-akan pelaku sudah mendapatkannya tanpa harus mengkhawatirkan reaksi perlawanan dari pikiran bawah sadar.

Sebuah solusi cerdas yang diungkapkan kembali oleh seorang pakar hipnosis negeri kita sendiri!

Read More......

Don’t Create Too Much Reasons to Fail


"The optimist sees opportunity in every danger; the pessimist sees danger in every opportunity." (Winston Churchill)

Ada sebuah petuah berharga yang saya dapatkan saat pertama kalinya saya memulai karir dalam pekerjaan saya saat ini. Satu dari kumpulan petuah berjudul “10 Prinsip Hidup Orang Modern” yang tertulis dalam selembar kertas yang tertempel pada dinding kantor saya waktu itu, dan nampaknya diadaptasi dari filosofi Buddha. Satu petuah yang hingga saat ini menjadi salah satu pedoman saya dalam bekerja dan menjalani hidup yang penuh anugerah ini berbunyi: ”Jangan terlalu banyak alasan”.

Tampaknya sebuah petuah yang sederhana, dan lebih mirip suatu ungkapan kejengkelan seorang pemimpin (bos) kepada anak buahnya saat ia tidak puas dengan kinerja anak buah yang bersangkutan. Namun ungkapan yang sederhana inilah yang nyata-nyata dapat dengan mudah ter-install dalam benak pikir saya hingga saat ini.

Saat saya merasa akan gagal dalam pencapaian sesuatu, dan mungkin juga beberapa manusia pada umumnya, secara naluriah kita seringkali membuat alasan-alasan yang sering kita kondisikan untuk ”selayaknya dipahami oleh orang lain” tanpa sebelumnya merefleksi terlebih dahulu terhadap kualitas kinerja kita sendiri.

Kemungkinan-kemungkinan yang menjadi faktor kegagalan ini dapat dengan mudah kita kreasikan sendiri. Entah faktor usia, gender, latar belakang pendidikan, fasilitas, dan masih banyak lagi yang bisa saya sebutkan ”dengan semestinya” pada halaman ini, yang sebenarnya menjadi semacam afirmasi negatif ke dalam alam bawah sadar untuk mendemotivasi usaha kita.

Pernahkah Anda dengar cerita tentang kedua anak kembar dalam suatu keluarga tak mampu dan tidak bahagia? Nasib yang sama dialami oleh kedua anak tersebut ketika kecil, namun bertolak belakang dengan nasib keduanya saat mereka dewasa.

Anak pertama mengalami kesuksesan dalam usia dewasanya, namun anak kedua tidak mampu membawa taraf hidupnya menjadi lebih baik. Saat anak pertama ditanya apa yang menyebabkan dirinya sukses, ia menjawab, ”Saya menjadi seperti ini karena masa kecil saya. Saya bukan berasal dari keluarga mampu dan bahagia, sehingga saya berkeinginan keras untuk merubah nasib saya melalui kerja keras.”

Sebaliknya, saat anak kedua ditanya apa yang menyebabkan ia gagal dalam hidupnya, ia menjawab, ”Saya menjadi seperti ini karena masa kecil saya. Saya bukan berasal dari keluarga mampu dan bahagia, sehingga kehidupan tersebut menghancurkan mental saya, membuat saya tidak percaya diri, saya juga tidak mampu menuntut ilmu untuk memperdalam pengetahuan saya, dan parahnya pula saya tidak mempunyai modal untuk memulai sebuah usaha.”

Sebuah cerita lagi berasal dari negeri China saat seorang pembuat sandal pergi merantau ke negara barbar di mana ia mencoba menjajakan produksi alas kakinya. Belum beberapa lamanya ia merantau, ia kembali ke desanya dengan membawa seluruh barang dagangannya dengan putus asa. Ia berkata pada tetangga-tetangganya, ”Sial sekali diriku ini. Aku menjual alas kaki ke tempat yang salah di mana penduduknya sudah terbiasa untuk bertelanjang kaki. Akibatnya, sia-sialah sajalah perjalananku ke negeri barbar tersebut.”

Ada satu orang pembuat sandal lain dari desa itu yang kebetulan tidak mendengar cerita tersebut, dan ia mencoba untuk menjual alas kaki buatannya ke negeri barbar yang sama pula. Setelah beberapa lama kemudian, ia kembali ke desanya dengan membawa banyak perhiasan, ”Alangkah beruntungnya aku! Alas kakiku dapat dijual dengan mudah kepada mereka-mereka yang sebelumnya tidak pernah menggunakannya. Barang buatanku laku keras dan habis terjual.”

Sebenarnya banyak sekali cerita-cerita sejenis yang menunjukkan bahwa suatu kondisi yang sama dapat dimaknai berbeda oleh orang lain. Sama halnya seperti kita memaknai gelas yang setengah isi atau setengah kosong. Nampaknya ini bukan pembahasan baru, Pembaca, namun alangkah baiknya pula kita selalu ingat untuk merefleksikan kembali seberapa seringkah sebenarnya kita membuat alasan-alasan yang bisa dipersiapkan untuk ”membenarkan” kegagalan dan keputusasaan kita?

Terakhir, perkenankanlah saya menyadur sebagian isi dari buku ”The Science of Success” karangan James Arthur Ray (salah seorang guru ”The Secret”) yang sebenarnya telah menjelaskan tentang segala sesuatunya yang berkaitan dengan judul di atas dan dapat dipetik manfaatnya:


TIDAK ADA LAGI ALASAN, TIDAK ADA LAGI CERITA

Beberapa orang telah meyakinkan diri mereka sendiri bahwa hasil tidaklah perlu. Itu kedengarannya aneh, bukankah demikian? Kita semua mengetahui bahwa agar berhasil, hasil-hasil mutlak diperlukan.

Tetapi pikirkan tentang hal itu. Berapa banyak orang yang Anda kenal yang memiliki cerita bagus tentang mengapa mereka tidak memperoleh hasil. Sering kali cerita-cerita itu dimulai sejak sangat lama sekali:
• ”Saya tumbuh dewasa di lingkungan yang salah.”
• ”Saya tidak memperoleh kesempatan yang orang lain dapatkan.”
• ”Keluarga saya tidak seberuntung keluarga lain.”
• ”Saya tidak bersekolah yang tepat atau tidak memiliki gelar yang tepat.”

Kadang-kadang orang-orang ini nampaknya telah membodohi diri mereka sendiri dengan mempercayai bahwa tidak memperoleh hasil-hasil itu dapat diterima, selama mereka memiliki cerita yang baik untuk pembenaran kurangnya keberhasilan mereka. Persamaan yang tampaknya sering digunakan oleh orang-orang seperti ini adalah ini:
TIDAK ADA HASIL + CERITA = HASIL.
Ini secara mutlak tidak benar, dan ini adalah sikap yang sangat melemahkan! Beberapa cerita tampak seperti alasan yang sangat baik, tetapi cerita itu menjamin kegagalan. Selama orang-orang membuat alasan untuk kurangnya keberhasilan mereka, mereka kehilangan kekuatan untuk menciptakan keberhasilan.

Banyak cerita yang kita kisahkan secara mutlak benar. Faktanya akurat. Dan juga benar bahwa orang-orang dan keadaan di luar diri mereka mempengaruhi kita. Tetapi faktor-faktor tersebut tidak menentukan keberhasilan mereka. Faktor-faktor itu tidak memiliki kekuatan untuk menjauhkan kita dari nasib baik kita, kecuali kalau kita membiarkannya. Abraham Lincoln, Martin Luther King, dan Mahatma Gandhi tidak membiarkan masa lalu mereka yang sangat sederhana menjauhkan mereka dari impian mereka. Selama kita terus berfokus pada cerita-cerita kita, dan bukan pada hasil-hasil kita, kita menjauhkan diri kita sendiri dari mengubah atau mencapai sesuatu.

Perhatikan prinsip ini dalam hal hidup Anda sendiri. Pikirkan tentang satu bidang dalam hidup Anda di mana Anda sekarang berhasil. Itu mungkin dalam hubungan, keuangan, atau permainan tenis Anda. Anda mungkin memiliki fisik yang sangat bagus atau menjadi orangtua yang hebat. Sekarang, untuk memperhatikan lebih dekat pada sifat cerita dan betapa tidak relevannya cerita itu, buatlah cerita tentang mengapa Anda tidak berhasil di bidang itu, bidang dimana Anda jelas-jelas berhasil. Alasan selalu tersedia untuk mereka yang memilih beralasan ketimbang berhasil.

Para pemenang tidak mengisahkan cerita. Para pemenang menyingkirkan cerita-cerita mereka untuk memperoleh hasil. Bahkan ketika kemalangan menimpa, mereka tidak membiarkan diri mereka tenggelam dalam alasan.

Putuskan sekarang juga untuk berhenti menggunakan cerita-cerita bagus Anda sebagai alasan. Dengan berfokus pada cerita-cerita Anda, Anda hanya menciptakan cerita yang sama. Memikirkan tentang kekurangan dan batasan hanya menciptakan lebih banyak kekurangan dan batasan. Berfokuslah hanya pada visi Anda dan potensi Anda yang tidak terbatas. Satu-satunya cara untuk membangun hasil-hasil adalah berkonsentrasi secara konsisten pada apa yang Anda pilih, dengan mengesampingkan semua hal lain.

Read More......

Mirroring Solomon's Wisdom


"Like in the old poetry, wisdom may only come to few people who received a little gift" (Huang Qingrong – “Supreme Wisdom”)

Apabila seseorang bertanya kepada saya, "Apakah sebenarnya yang menjadi hakekat kepemimpinan tertinggi?"
Saya akan dengan lugas menjawabnya dengan satu kata: “kebijaksanaan”. Sebuah kata yang saya yakini merupakan sebuah faktor penentu yang mengangkat tingkat kepemimpinan dari yang berkategori ”memimpin secara benar” menjadi ”memimpin secara luar biasa”.

Tanpa kebijaksanaan, seorang pemimpin mungkin dapat memimpin secara benar dengan kebaikan hatinya, integritas, dan faktor-faktor kepemimpinan lainnya. Ia juga masih dimungkinkan memiliki pengikut-pengikut yang tetap hormat dan mengikutinya di saat ia tidak bertindak bijak. Namun kebijaksanaan menjadi kunci yang menjamin pemimpin menjadi sempurna: tidak akan salah dan menjamin tercapainya suatu tujuan bersama.

Gajahmada (... – 1364 M), seperti yang dituliskan Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama, diakui sebagai seorang pemimpin yang berani dan mempunyai integritas tinggi dalam visinya mempersatukan Nusantara. Namun karena ketidakbijaksanaannya, ia dinilai bertanggung jawab terhadap Perang Bubat yang terjadi antara Negara Majapahit dan Sunda. Ia bisa dikatakan tidak sempurna dalam pencapaian tujuannya, meskipun namanya tetap harum hingga sekarang.

Liu Bei (161-223 M), Kaisar Shu, salah satu dari penguasa 3 Kerajaan (Sanguo/Samkok) di daratan China waktu itu, dituturkan oleh Luo Guanzhong dalam roman ”Kisah Tiga Kerajaan” (Romance of the Three Kingdom / San Guo Yan Yi) sebagai pemimpin yang baik hati dan mencintai pengikutnya. Namun karena ketidakbijaksanaannya saat mementingkan kepentingan balas dendam pribadi atas kematian adik dan jenderal besarnya Guan Yu, ia gagal mempersatukan wilayah China meskipun pengikut-pengikutnya pun tetap setia kepadanya.

Yudistira, orang pertama dalam Pandawa Lima, dikisahkan dalam epos Mahabharata karangan Vyasa sebagai seorang yang tulus hati dan terbuka terhadap saudara-saudaranya. Namun karena ketidakbijaksanaannya dalam tindakannya bermain dadu melawan Kurawa, ia membawa saudara-saudaranya menderita dalam pengasingan selama 13 tahun lamanya.

Sementara kebijaksanaan menjadi idaman yang nampaknya tidak mudah untuk dimiliki bahkan oleh pemimpin besar sekalipun, tercatat pula seorang pemimpin yang diakui memiliki hakekat kepemimpinan tertinggi tersebut. Ia adalah Solomon, anak Daud dan menjadi raja ketiga Kerajaan Israel yang memerintah pada masa kurang lebih 971 – 931 SM. Saya sengaja menyebutnya bukan sebagai ”Salomo” ataupun ”Sulaiman” untuk menerobos batas penamaan dalam kitab suci Islam maupun Kristiani. Dan memang, kebijaksanaan Solomon diakui dan dicatat dalam Al-Quran maupun Alkitab Perjanjian Lama.

Dalam Al-Quran dikisahkan bahwa Solomon telah menunjukkan kecerdasan dan ketajaman pikirannya sejak usianya masih belum dewasa:

Kebijaksanaan Solomon dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang dilaluinya. Misalnya, saat ia mengetengahkan ide kepada ayahnya, Raja Daud untuk menyelesaikan perselisihan antara dua pihak, yaitu antara pemilik kebun dan pemilik kambing yang pada suatu saat merusak kebun tersebut. Mulanya Raja Daud memutuskan pemilik kambing supaya menyerahkan ternaknya kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi disebabkan ternaknya memasuki dan merusakkan kebun itu.

Solomon yang mendengar keputusan bapaknya menyelanya, “Ayah, menurut hemat saya, keputusan itu sepatutnya demikian: kepada pemilik kebun yang telah musnah tanamannya selayaknya diberi kambing tersebut untuk dipelihara, diambil hasilnya, dan dimanfaatkan bagi keperluannya. Sementara kebun yang rusak itu diserahkan kepada pemilik kambing untuk dijaga sehingga kembali kepada keadaan asal. Kemudian masing-masing menerima kembali miliknya, sehingga dengan cara demikian masing-masing pihak tidak ada yang mendapat keuntungan atau menderita kerugian lebih daripada sepatutnya.”

Pendapat yang dikemukakan Solomon disetujui kedua pihak. Malah khalayak ramai yang menyaksikan perbicaraan itu kagum dengan kebijaksanaannya dan hal tersebut tak lama kemudian tersebar luas. Akibat dari kebijaksanaannya pula, Solomon dipilih Daud untuk menggantikannya sebagai Raja Israel.

Dalam Alkitab Perjanjian Lama melalui Kitab Tawarikh dan Raja-raja juga menggambarkan Solomon sebagai raja mempunyai hikmat dan kebijaksanaan:

Kebijaksanaan Solomon digambarkan melalui kisah tentang dua orang perempuan yang memperebutkan seorang anak bayi dan keduanya sama-sama mengaku sebagai ibu sang bayi tersebut. Solomon meminta diambilkan sebilah pedang dan memutuskan bahwa supaya adil, bayi itu harus dibelah dua, dan masing-masing perempuan itu akan mendapatkan setengah. Ibu sejati sang bayi memohon kepada Solomon agar bayi itu dibiarkan hidup, bahkan ia merelakan bayinya diserahkan kepada perempuan yang satunya, sementara ia tidak mendapatkan bayinya. Dengan cara itu Solomon berhasil menemukan ibu sejati bayi tersebut.

Kedua kitab suci tersebut sepakat, bahwa kebijaksanaan Solomon tersebut merupakan anugerah yang diberikan secara istimewa dari Tuhan yang Maha Kuasa. Lantas, apakah sebenarnya pemimpin-pemimpin yang lain ataupun Anda sendiri, Pembaca, tidak mendapatkan anugerah yang sama?

Wallace D. Wattles (1860-1911) dalam bukunya yang berjudul ”The Science of Being Great” (Ilmu Menjadi Agung) mengungkapkan bahwa sebenarnya manusia menerima anugerah yang sama dari Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kebijaksanaan. Hanya rupa-rupanya, meskipun kebijaksanaan tersebut telah dianugerahkan, bagaimanapun juga manusia harus tetap mengusahakannya untuk timbul dalam dirinya sendiri.

Bagaimana caranya? Secara ringkas dalam buku tersebut dikatakan bahwa kebijaksanaan didapatkan dengan membaca pikiran Tuhan, yang dirumuskan melalui langkah-langkah di bawah ini:

Tahap pertama adalah merubah sudut pandang, baik sudut pandang sosial maupun perorangan. Maksudnya adalah Anda haruslah mempunyai sudut pandang baru yang meyakini bahwa dunia dan semua yang dikandungnya adalah sempurna, meskipun belum selesai. Semua ciptaan Tuhan ini, termasuk kita sendiri dan juga manusia-manusia lainnya, adalah baik adanya.

Tahap kedua adalah konsekrasi, yaitu ketaatan kepada jiwa. Ini berarti hendaklah kita membawa tubuh fisik kita sendiri untuk mematuhi akal yang dikuasai oleh jiwa dan dianugerahkan Tuhan. Bukan sebaliknya dimana kita seringkali berada pada kondisi dimana hawa nafsu fisik mengalahkan akal sehat kita.

Tahap ketiga adalah identifikasi, yaitu menyadari bahwa kebijaksanaan yang disebut sebagai Prinsip Kekuatan adalah eksistensi dari Tuhan sendiri. Tidak bisa ada satu jenis kecerdasan dalam Tuhan dan jenis kecerdasan lain dalam manusia; kecerdasan hanya bisa ada di dalam zat yang cerdas, dan Zat Cerdas tersebut adalah Tuhan.

Tahap keempat adalah idealisasi, yaitu menggambarkan dengan jelas suatu hasrat yang kita inginkan dan menahannya dalam benak sampai ia menjadi bentuk-pikiran yang pasti. Ini berarti hendaklah kita membuat betuk-pikiran akan diri yang kuat, sehat, dan sejahtera serta tidak membiarkan orang lain memutuskan (menghakimi) akan menjadi seperti apa diri kita.

Tahap terakhir adalah realisasi, yaitu melakukan tindakan nyata di saat kini dan mewujudkan bentuk pikiran ke dalam bentuk material. Maksudnya secara ringkas adalah melakukan apa yang dapat kita lakukan sekarang ini saat kita merasa di dalam lubuk sanubari kita bahwa tindakan tertentu yang kita lakukan adalah benar. Berarti selayaknya kita tidak pernah meragukan diri kita sendiri, dan menjalani segala sesuatunya dengan dibimbing secara mutlak oleh terang di batin diri yaitu persepsi kebenaran di dalam segala hal.

Sebuah pedoman menarik yang layak untuk ditelaah dan dipelajari, Pembaca. Apabila benar adanya, bukan tidak mungkin akan timbul lagi pemimpin-pemimpin dengan anugerah kebijaksanaan yang luar biasa dan sempurna. Sebuah persembahan istimewa dari Wattles selain ”The Science of Getting Rich”.

Read More......