Bagong's Chatters


"Happiness doesn't depend upon who you are or what you have, it depends solely upon what you think." (Dale Carnegie)

Dear friends, dalam kesempatan kali ini saya tuangkan posting saya pada mailing list LingkarLoA@yahoogroups.com pada beberapa kesempatan yang lalu, yang waktu itu saya beri judul: "Celotehan Si Bagong".

Perkenankan saya "urun rembug", sharing, mengeluarkan uneg-uneg dan lain-lainnya seputar LoA menurut pemahaman saya yang dangkal ini. Tiada maksud saya untuk menggurui, ataupun mengarahkan, namun anggaplah saja ini sebagai celotehan Si Bagong akibat pertapaannya dengan gaya "ngelamun sambil 'ngowoh' (saya tidak berhasil mendapatkan kotakatanya dalam Bahasa Indonesia, kira-kira mungkin maksudnya membuka mulut)". Bagong yang berceloteh dengan tujuan untuk "didengar", tanpa keinginan untuk "didengarkan". Bagong yang hanya ingin "diguyu", tanpa niatan untuk "digugu".

Ada keragu-raguan di hati ini karena di balik beberapa keberhasilan LoA yang dilakukan, masih terdapat beberapa LoA pula yang gagal dilakukan...
Saat membaca penuturan Bob Proctor bahwa: "LoA selalu bekerja, terlepas
dari apakah Anda mempercayainya, memahaminya, atau tidak.", sempat terbersit benak Si Bagong untuk bertanya dengan modelling ala Milton Erickson: "Selalu? Apakah tidak pernah tidak bekerja sekalipun??"

Nampaknya Christhoper Reeves yang pernah berharap sembuh dari kelumpuhannya pun gagal, dan hingga akhir hayatnya ia tidak berhasil lepas dari kursi rodanya. Konon Anthony Robbins pernah bercita-cita pula menjadi Presiden AS, namun nama-nama yang menghiasi di media massa saat ini tampaknya malahan Hillary Clinton atau Barrack Obama sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat.

Wah, bukannya Bagong berniat untuk memberikan vibrasi negatif kepada saudara-saudari disini...

Hanya saja, Bagong sempat berpikir...
Apabila Michael J. Losier berkata bahwa pikiran kita menghasilkan getaran energi, dan energi yang sama akan dipancarkan oleh semesta sebagai reaksi akibat dari kesesuaian frekuensi...
Plus penjelasan Dr. John Hagelin dalam "The Secret" bahwa pada hakekatnya hanya ada satu akal dalam semesta (intelegensi, kearifan, kesempurnaan) termasuk pula dalam diri kita sendiri...

Maka apabila digabungkan pula dengan pola motivasi manusia dalam kecenderungannya melakukan sesuatu menurut NLP/NAC: "Avoiding Pain" dan "Gaining Pleasure"...

Mungkinkah dapat disimpulkan pula bahwa semesta pun melakukan pola yang sama, yaitu "Avoiding Pain" dan "Gaining Pleasure" juga??

Maksud Bagong, secara sederhananya kira-kira, sebenarnya setiap kali kita berusaha meng-"attract" sesuatu, bisa jadikah berhasil atau tidaknya kita tersebut ditimbulkan pula oleh faktor-faktor "Avoiding Pain" yaitu menghindari kesengsaraan dari bagian dari semesta itusendiri, (yaitu diri kita sendiri dan orang lain); dan juga "Gaining Pleasure" yaitu memberikan kenikmatan untuk bagian dari semesta itu
sendiri (diri kita dan orang lain pula).

Weleh-weleh, kayaknya masih njimet juga celotehan Bagong ini...

Maksud Bagong kembali, dalam kaitannya dengan orang lain (eksternal), kira-kira saat kita meng-"attract" sesuatu yang kita inginkan, pernahkah kita memikirkan akibatnya bagi orang lain pula, sehingga bisa jadi berhasil tidaknya LoA juga bergantung pada:

1. Adakah orang lain yang dirugikan dari LoA kita? (Semesta melakukan "Avoiding Pain")
Jika kita me-LoA keinginan untuk menjadi pemenang dalam suatu pertandingan olahraga, bukankah orang lain (lawan kita) dikecewakan? Namun apabila kita me-LoA agar kita dapat bertanding dengan kemampuan maksimal kita, nampaknya kompetitor kita akan kalah secara terhormat.
Jika kita me-LoA lawan jenis yang kita idam-idamkan, mungkin belum tentu lawan jenis tersebut menjadi "beruntung" saat mendapatkan kita (ha..ha...)
Namun apabila kita me-LoA potensi diri, karisma, dan rasa percaya diri, menurut hemat Si Bagong hasilnya lebih maksimal...

Dan bisa jadi pula saat kita merasa gagal me-LoA sesuatu, sebenarnya bukanlah kegagalan, namun ada alasan di mana tanpa kita sadari dan ketahui, mungkin terdapat orang yang dirugikan dengan LoA kita. Misalkan kita ingin me-LoA tempat parkir hanya karena kita tidak ingin repot berlama-lama antri, bisa jadi kita tidak mendapatkannya karena ada orang lain yang lebih membutuhkan tempat parkir tersebut, dengan pertimbangan semesta bukan hanya karena orang lain tersebut "tidak ingin repot".

2. Adakah orang lain yang diuntungkan dari LoA kita? (Semesta melakukan
"Gaining Pleasure")
Dengan turut memikirkan hasil yang diterima orang lain apabila LoA kita berhasil, Si Bagong berpikir mungkin vibrasi yang ditimbulkan akan lebih kuat...
Karena apa yang di LoA benar-benar dirasakan dengan emosi yang intens yaitu ketulusan hati nurani... bukan hanya "greedy" semata...

Plus pula, dalam kaitannya dengan diri sendiri (internal), mungkin harus dicermati bahwa bisa jadi saat kita gagal meng-"attract" sesuatu itu karena sebenarnya keinginan kita tersebut bukanlah hal yang terbaik bagi kita. Kalo Om Bandler dan Grinder bilang, "The map is not the terittory." Jadi memang bukan LoA nya yang gagal, tapi Penguasa semesta lebih tahu apa yang sebenarnya kita butuhkan, dan apa yang sebaiknya tidak diberikan, demi kebahagiaan manusia itu sendiri...

Lalu, sampai di sini sempat Bagong berhenti mengetik sejenak karena berpikir, kalau memang semesta melakukan "Gaining Pleasure" kepada diri kita sendiri, kok ya saat kita memikirkan sesuatu yang negatif, semesta mengirimkan hal yang negatif tersebut kepada kita?

Wah, bingung juga nih. Sempat terbersit dalam pikiran Bagong untuk menghapus teks-teks tulisan ini karena kram otak. Namun menurut pertimbangan Bagong yang tidak ingin mikir repot ini (begini cara Bagong ngelesnya kalo lagi ga tau apa-apa...), sebenarnya LoA yang demikian harus terjadi, karena saat kita memikirkan sesuatu yang negatif (ketakutan, kecemasan, kekesalan) rasanya bisa disetarakan juga dengan ketidakbersyukuran kita atas segala sesuatu yang sedang terjadi.

Rasanya susah kan, bersyukur sambil cemas mikirin utang...
Kayaknya susah juga, bersyukur sambil ngomel2 dalam hati karena rekan
kerja ngga komunikatif...
Yang ini ngga kalah susahnya, bersyukur sambil deg-degan karena kuatir
ngga lulus ujian...

Apabila rasa syukur tidak kita indahkan atas apa yang kita rasakan saat ini, nampaknya bukanlah tindakan yang bijak dan tidak menunjukkanketakwaan kita kepada Penguasa semesta. Dalam sudut pandang religi manapun rasanya akan sama-sama sepakat jika apa yang ditanam di dunia ini akan dituai secara serupa, entah itu positif atau negatif... (Yin-Yang, hukum karma, surga neraka, dll.)

Well, rasanya cukup sekian celotehan Bagong yang mungkin ngalor-ngidul ini... yang mungkin pula penuh dengan imajinasi ngawur plus kesimpulan serampangan...
Sebelumnya, atau sesudahnya, atau pula kedua-duanya, mohon dimaafkan apabila terjadi kesalahan kata ataupun makna...

Read More......

Talismans and Ritual Acts to Improve Your Luck


"Luck is what happens when preparation meets opportunity.” (Lucius Annaeus Seneca)

Belum lama ini saya membaca kembali sebuah buku lama berjudul “Improve Your Luck & Your Wildest Dreams Can Come True” terbitan MicroMags tahun 2000. Buku ini yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Interaksara dengan judul “Tingkatkan Keberuntungan dan Impian Paling Ambisius Anda Bisa Menjadi Nyata”. Saat saya baca untuk pertama kalinya 3 tahun yang lalu, buku ini sebenarnya cukup inspiratif dengan mengungkapkan perlunya kekuatan pikiran dan rasa percaya untuk merubah hidup menjadi lebih baik; yang akhirnya dalam beberapa tahun sesudahnya saya kenal dan saya pahami secara lebih luas sebagai “Law of Attraction”.

Namun ada sebuah bab yang cukup mengganjal dalam pikiran saya waktu itu, yang cukup mengurangi apresiasi saya terhadap isi buku ini. Padahal dalam bab-bab sebelumnya saya merasa menemukan suatu inspirasi yang luar biasa. Ada sebuah topik yang membuat saya harus mempertanyakan kembali kebenarannya, yang termuat dalam Bab X yang berjudul: “Ubah Keberuntungan Anda dengan Pesona dan Ritual Keberuntungan”. Isi bab ini menganjurkan pembacanya untuk membuat sendiri kebiasaan atau jimat sebelum melakukan suatu tindakan yang tujuannya untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri dan lebih menjamin terjadinya keberuntungan. Berikut saya sajikan petikan dalam bab tersebut:


Para atlit melakukan hal-hal aneh untuk membawa keberuntungan. Pesona dan ritual keberuntungan membantu para atlit menyiapkan diri untuk suatu pertandingan dengan member mereka rasa mantap, aman, dan bahwa mereka mengendalikan keadaan yang sebenarnya tidak mungkin bisa mereka kendalikan: cuaca, cedera, dan peluang buruk.

Misalnya, Michael Jordan memakai celana pendek gymnasium North Carolina di bawah seragamnya. Di tahun 1982, ia membantu Universitas North Carolina memenangkan kejuaraan bola basket perguruan tinggi nasional; sejak itu, ia selalu mengenakan celana pendek gymnasium UNC – dan sekarang ia orang dengan bayaran tertinggi di dunia olahraga. Ia bukan satu-satunya atlit yang mengenakan celana pendek keberuntungan. Deion Sanders memakai celana pendek petinju yang didekorasi dengan lambang dollar besar berwarna putih ke dan dari setiap pertandingan Dallas Cowboys.

Meskipun banyak orang mengira bahwa nomor 13 adalah angka sial, quarterback Dan Marino dan petenis professional Mary Pierce mengatakan bahwa 13 adalah angka keberuntungan mereka. Dan mengenakan No. 13 dengan Miami Dolphins, dan pada turnamen nasional pertamanya, Mary mengalahkan unggulan pertama di Lapangan 13. Tetapi Juwan Howard mau memakai apa saja selama ada angka 5 di dalamnya.

Apabila Randy Johnson menjadi pitcher pertama dalam sebuah pertandingan, maka ia akan selalu memainkan drumnya dan memakan satu piring besar pancake untuk sarapan.

Banyak atlit punya suatu kebiasaan yang mereka dengan setia lakukan – supaya mereka tetap beruntung.

Troy Aikman hanya punya satu takhayul: teman seregu yang sama harus membantu dia menarik baju jerseynya melewati bantalan bahunya sebelum tiap gim dimulai.

Apakah semua itu manjur? Apakah semua ritual dan benda-benda “sihir” ini membawa tambahan bagi keberuntungan kita? Para ahli berkata bahwa semua itu manjur, meskipun tidak dengan cara yang Anda bayangkan.

“Para atlit top menggunakan ritual ini supaya mereka bisa berkonsentrasi, supaya mereka bisa mengarahkan perhatian mereka pada kinerja mereka,” kata Dr. Bruce Ogilvie, seorang pionir dalam bidang psikologi olahraga.

“Semua manipulasi lahiriah yang kecil ini memungkinkan Anda menentukan apa yang penting; supaya bisa tetap pada saat itu,” Dr. Ogilvie menunjukkan.

Banyak di antara kita mempelajari hal tersebut dari para atlit. Setiap orang bisa menggunakan ritual untuk menghapus gangguan. Jika hari depan Anda menuntut perhatian Anda sepenuhnya – ujian yang harus dilalui, wawancara pekerjaan, sesuatu yang meminta konsentrasi dan keberuntungan – Anda ingin memusatkan perhatian diri Anda pada tugas yang menunggu.

Bagaimana ritual itu secara rinci dilakukan tidaklah penting. Yang penting adalah tujuan di balik ritual tersebut, begitulah pendapat Dr. Joel Kirsch, seorang psikolog olahraga.

Bersama ini beberapa cara Anda bisa menerapkan prinsip ini pada kehidupan Anda sendiri:

Anda bisa punya ritual yang bahkan orang yang sedang memperhatikan Anda tidak akan bisa lihat. Misalnya, apabila Anda naik mobil Anda di pagi hari, ketuk bagian atas setir tiga kali. (Tiga adalah nomor keberuntungan di masyarakat mana saja!).

Hal tersebut akan memberi sinyal, “Aku sedang mengumpulkan kesadaranku akan lingkungan. Aku memulai hariku. Aku mengikuti jalanku sendiri.” Apakah dengan berbuat begitu akan membantu gaji Anda dinaikkan? Bisa jadi.

Atau, apabila Anda pergi kerja, daripada membalikkan halaman kalender harian begitu saja, jadikan kebiasaan tersebut ritual harian.

Berdiri di meja tulis Anda. Berhenti sesaat. Bersihkan pikiran Anda. Pandanglah dengan seksama halaman yang sedang Anda balik, menjadikan gerakan itu lambang meninggalkan hari kemarin di belakang Anda dan mulai dengan tenaga baru menghadapi hari yang baru.

“Ada arti yang lebih mendalam terhadap apa yang sedang Anda lakukan,” kata Dr. Kirsch.


Dari petikan di atas, meskipun pentingnya “jimat” dan kebiasaan ritual telah dijabarkan secara ilmiah, tetap saja saya tidak dapat memaknainya dengan logika saya waktu itu dan lebih saya anggap sebagai wacana provokatif yang sama sekali tidak jelas manfaatnya. Namun setelah saya mengenal “Anchor” (jangkar) dalam ilmu Neuro Linguistik Programming (NLP) serta hipnoterapi yang saya pelajari akhir-akhir ini, baru saya pahami bahwa tindakan ritual dan “jimat” pembantu sukses tersebut nyata-nyata merupakan Anchor yang memang dikreasikan dengan sengaja, bukan sebagai sarana magis ataupun klenik.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Anchor? Anchor merupakan sebuah program dari pemikiran bawah sadar (subconscious mind) yang menghubungkan realita dalam simbol-simbol yang dikenali sistem panca indera (penglihatan, pendengaran, perasaan, pengecap, dan penciuman) dengan keadaan emosional seorang individu, baik yang dipahami oleh pikiran sadar (conscious mind) ataupun tidak. Sebagai contoh adalah ikat pinggang yang bisa menjadi Anchor bagi suatu individu sehingga saat individu tersebut lupa memakainya, ia menjadi gelisah dan tidak percaya diri.

Anchor dapat disadari langsung oleh pikiran sadar (conscious mind) ataupun tidak langsung (terhubung hanya secara langsung pada pikiran bawah sadar). Anchor yang tidak disadari secara langsung ini dapat membuat seolah-olah apa yang dialami individu tidak berkaitan dengan perilakunya. Anchor dapat dibentuk secara sengaja (sadar) maupun pula tidak sengaja, dapat pula diubah, ataupun dihilangkan.

Pelaku hipnoterapis kerap kali menemukan Anchor yang terdapat pada kliennya dan dibentuk tanpa sadar. Misalnya karena klien tersebut pernah mempunyai pengalaman buruk saat berada di dalam lift, maka setiap kali ia melihat lift jantungnya berdebar-debar dan ia merasa gelisah sekali. Padahal pengalaman masa lalunya tersebut bahkan telah dilupakan oleh pikiran sadarnya (conscious mind). Dalam hal ini lift tersebut telah menjadi Anchor bagi klien tersebut sehingga Anchor tersebut harus dihilangkan.

Anchor tidaklah selalu buruk. Banyak pula Anchor yang sengaja dibuat oleh seorang hipnoterapis kepada kliennya untuk mendukung sugesti yang diberikan kepada klien tersebut. Sebagai contoh, klien yang ingin berhenti merokok dianjurkan oleh hipnoterapis untuk menutup hidungnya selama 3 detik pada masa-masa di mana kebiasaan merokok itu timbul (misalnya sesudah makan), dan memang setelah melakukannya, ia benar-benar tidak ingin merokok lagi. Apa yang terjadi? Ternyata pada saat terapi, hipnoterapis tersebut memberikan Anchor kepada kliennya, yaitu menutup hidungnya selama 3 detik, sehingga setelah selesai terapi, klien benar-benar tidak berniat merokok kembali meskipun ia sedang dalam masa-masa dimana ia biasa merokok (sehabis makan, misalnya).

Sebagai contoh lain, pernahkah sewaktu kecil Anda diberitahu oleh teman atau orangtua Anda bahwa mengantongi batu dapat menahan keinginan untuk buang air? Meskipun sebenarnya tidak ada keterkaitannya, namun di masa kecil apabila kita benar-benar mempercayainya nyata-nyata kebiasaan itu efektif untuk dilakukan. Mengapa? Dalam hal ini, sugesti ditimbulkan dari Anchor yang memang dibentuk oleh mitos yang diterima oleh teman atau orangtua Anda, yaitu mengantongi batu.

Dengan pemahaman-pemahaman mengenai Anchor inilah, akhirnya saya menyadari bahwa apa yang dianjurkan dan dijabarkan oleh buku “Improve Your Luck & Your Wildest Dreams Can Come True” memang nyata-nyata bermanfaat dan dapat dipahami dengan logika. Sebuah “jimat” dan kebiasaan-kebiasaan aneh yang menjadi ritual dapat dengan sengaja dibuat dengan pemahaman bahwa hal ini semata-mata digunakan sebagai Anchor bagi pikiran bawah sadar (subconscious mind) kita untuk dapat meningkatkan percaya diri, bukannya karena benda atau kegiatan tersebut mengandung unsur magis di dalamnya.

Apakah kegiatan membuat “jimat” dan kegiatan ritual ini bertentangan dengan norma-norma agama? Saya tidak memiliki kompetensi untuk menjawabnya. Saya pribadi berpendapat bahwa sepanjang kita memahaminya sebagai kegiatan untuk membuat Anchor bagi diri kita dan bukan memaknai unsur magis ataupun klenik di dalamnya, ini berarti kita memanfaatkan anugerah pikiran bawah sadar (subconscious mind) yang memang merupakan karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada diri kita untuk disyukuri dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Benda dan kegiatan tersebut bukan merupakan suatu tindakan kontradiktif sepanjang kita tidak bermaksud memberhalakannya sebagai sesuatu yang meminimalisir kepercayaan kita terhadap kuasa-Nya. Namun, bagi Anda yang tidak sependapat dengan saya ataupun masih ragu-ragu, Anda dapat pula membuat Anchor sendiri yang Anda yakini selaras dengan kepercayaan Anda sebelum Anda melakukan sesuatu, semisal dengan kegiatan doa menurut kepercayaan Anda sendiri.

Silakan mencoba dan mengkreasikan sendiri Anchor yang sesuai untuk Anda!

Read More......

Not Just “Pretend”, but Also “As If”


“The state of your life is nothing more than a reflection of your state of mind.” (Dr. Wayne W. Dyer)

Kembali saya harus membahas topik dalam buku dan film dokumenter “The Secret” dan kaitannya dengan pikiran bawah sadar (subconscious mind) karena nampaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikaji lebih mendalam dalam buku dan film dokumenter “The Secret” (sebelumnya saya bahas lewat penulisan saya yang terdahulu dalam “Behind ‘The Secret’” dan Synergetic Approach for Subconscious Mind”).

Apabila dalam kegiatan “percaya” (Believe) yang disarankan dalam “The Secret” selayaknya diawali dengan “memulai lewat tindakan berpura-pura” (karena jika kita berpura-pura, kita akan mulai sungguh-sungguh percaya bahwa kita menerima apa yang kita inginkan), dan dalam penulisan saya yang terdahulu saya garisbawahi pentingnya “suatu getaran positif dalam pikiran bawah sadar (subsconcious mind)”, ternyata definisi “berpura-pura” perlu ditinjau secara lebih lanjut.

Sebenarnya tidak akan menjadi masalah apabila maksud yang terkandung dalam “The Secret” bersesuaian dengan “getaran positif dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind)”, karena masalah definisi suatu kata bagaimanapun juga bisa diinterpretasikan secara berbeda-beda maknanya. Namun lewat buku “Transformasi Diri – Memberdayakan Diri melalui Hipnoterapi” yang membahas masalah hipnoterapi dan pikiran bawah sadar manusia dan ditulis oleh NSK Nugroho, seorang pakar hipnoterapis Indonesia, dapat saya garisbawahi bahwa pilihan kata yang lebih tepat untuk melakukan kegiatan “percaya” (believe) adalah bukan sekedar “berpura-pura” (pretend), namun juga “seolah-olah”(as if). Sehingga tanpa bermaksud untuk mengkoreksi, selayaknya dalam tindakan “berpura-pura” (pretend) tersebut dipahami secara lebih meluas dengan melibatkan makna “seolah-olah” (as if).

Apa yang berbeda dari 2 definisi di atas? Nampaknya tidak (terlalu) berbeda. Namun perlu diperhatikan bahwa menurut buku “Transformasi Diri – Memberdayakan Diri melalui Hipnoterapi” tersebut, definisi “berpura-pura” belum tentu membentuk wawasan internal (ide) atau tidak sesuai dengan wawasan internal dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind) sehingga sistem pikiran sadarnya (conscious mind) masih berperan – dalam mengkritisi, menganalisis, mempertimbangkan, dan sebagainya – terhadap tindakan sekarang, sehingga pelaku TIDAK NETRAL atas perilaku dan tindakan yang diperbuatnya sekarang.

Sedangkan, tindakan “seolah-olah” (as if) adalah suatu tindakan “berpura-pura” (pretend) yang dilanjutkan untuk membentuk wawasan internal (ide) sehingga terbentuk modifikasi sistem nilai atau program. Oleh karena itu, sangat tipis perbedaan antara “berpura-pura” dan “seolah-olah”.

Suatu tindakan “berpura-pura” dapat menjadi “seolah-olah”, jika:
• Pelaku melepaskan peran sistem pikiran sadarnya (conscious mind) dalam mengkritisi, menganalisis dan sebagainya – dengan membiarkan dirinya mengikuti arus emosi yang terjadi, seperti menghayatinya/menjiwainya dengan sepenuh hati – sehingga informasi tersebut lolos masuk ke pikiran bawah sadar (subconscious mind) untuk diproses, dan
• Mengulang-ulang tindakan “berpura-pura” tersebut (sehingga menjadi keadaan yang sugestif) dengan emosional (agar benar-benar terlepas dari campur tangan sistem pikiran sadar / conscious mind) dan melaksanakannya secara konsisten.
Proses di atas akan semakin cepat apabila sugesti untuk “berpura-pura” tersebut sesuai dengan sistem nilai yang sudah terbentuk dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind).

Dengan kata lain, tindakan “seolah-olah” cenderung menetap dan membentuk modifikasi program yang mendasari tindakan/perilaku selanjutnya, berbeda dari tindakan “berpura-pura” yang cenderung sementara.

Karena dalam teori hipnosis sendiri dipahami bahwa meningkatnya kreativitas seseorang dalam keadaan terhipnosis cenderung membuat orang tersebut berperilaku “seolah-olah” (as if) bahwa apa yang diimajinasikannya seolah sedang terjadi. Hal ini terjadi karena apa yang diimajinasikannya telah terkait dengan suatu sistem nilai dalam pikiran bawah sadarnya (subconscious mind). Dengan demikian, sangat besar kemungkinannya secara refleks (sengaja atau tidak), keadaan ini dapat berlanjut menjadi suatu reaksi tindakan yang lama-kelamaan menjadi perilaku.

Pembaca, pemahaman di atas bukan bermaksud mengecilkan makna dan manfaat “The Secret” ataupun menyalahkannya, karena sekali lagi saya katakan bahwa sebuah definisi kata dapat diinterpretasikan dengan makna yang berbeda bagi orang yang berbeda-beda pula. Namun dengan pemahaman lebih lanjut mengenai definisi “pretend” dan “as if”, kita dapat mengetahui lebih lanjut makna-makna dan arah tujuan yang harus dilakukan secara benar dalam kegiatan “percaya” (believe) untuk dapat mencapai apa yang kita cita-citakan.

Read More......