Leadership Philosophy from Our Own Country


When starting to learn about leadership, Indonesian people may not search for any theories far away from their own country; because there is a precious philosophy created by one of Indonesian great people themselves named Ki Hajar Dewantara.

Ya, filosofi berharga milik bangsa sendiri ini dijabarkan dalam 3 kalimat bahasa Jawa: ”Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Hingga sekarang, filosofi ini sebenarnya dikenal baik oleh bangsa ini dan telah diajarkan dan dihafal dalam bangku pendidikan Sekolah Dasar (terutama karena semboyan yang terdapat dalam lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia adalah kalimat terakhir dari filosofi tersebut).

Filosofi ini sebenarnya dituangkan Ki Hajar Dewantara, yang kini digelari Bapak Pendidikan Indonesia, untuk ditujukan kepada para pengajar/guru dalam kaitannya saat yang bersangkutan mendirikan Taman Siswa sebagai tempat belajar bagi para pribumi dalam masa penjajahan Belanda. Namun filosofi ini ternyata sangat tepat pula untuk ditempatkan dalam falsafah kepemimpinan, karena sejatinya seorang pemimpin yang melayani bersesuaian dengan figur seorang guru yang mendidik murid-muridnya.

Mungkin bangsa ini terlupa, saat mereka banyak terkesima oleh falsafah-falsafah kepemimpinan dari seberang negeri lain seperti George Washington, Machiavelli, Sun Tzu, dan lain sebagainya; sebenarnya terdapat pula suatu filosofi yang telah merangkum seluruh teori kepemimpinan dari buku setebal apapun di dunia ini yang notabene adalah milik bangsa ini sendiri.

Bagi saya pribadi, filosofi ini benar-benar luar biasa. Tidak ada maksud bagi saya untuk melebih-lebihkan ataupun menjadi chauvimist, namun seseorang yang belajar atau mulai memimpin cukup meresapi ketiga kalimat ini untuk dapat memimpin dengan baik dan sempurna. Oleh karenanya pembaca, dalam tujuan untuk menarik manfaat dari warisan besar bangsa ini, saya mencoba mengupas satu persatu dari ketiga kalimat tersebut:

Kalimat pertama, ”Ing Ngarsa Sung Tuladha” mempunyai makna harafiah: ”posisi di depan dalam rangka memberikan teladan”. Secara jelas maksud dari kalimat ini adalah sebuah posisi yang selayaknya diambil pemimpin, ia haruslah berdiri di depan: sebagai pioneer, teladan, decision maker, dan pembimbing.

Inilah langkah awal seorang pemimpin; mengambil posisi berdiri di depan, yang membedakannya dari rekan-rekan lain yang dipimpin. Dalam beberapa kondisi, posisi di depan dapat dianalogikan dengan predikat jabatan yang lebih tinggi, seorang atasan, ataupun orang yang ”dituakan”. Dalam hal ini pemimpin haruslah mampu membawa yang dipimpinnya untuk mencapai visi kelompok dengan memberikan keteladanan, sikap berani dan rela berkorban, dan bertanggung jawab penuh terhadap arah tujuan kelompoknya.

Menempatkan posisi di depan erat kaitannya dengan amanat dan kepercayaan bagi yang dipimpin, sehingga merupakan hal yang tabu bagi pemimpin apabila ia menempatkan posisinya di depan hanya semata-mata memberikan perintah tanpa teladan dan tanggung jawab, mencari prestasi pribadi, ataupun memanfaatkan kekuasaannya demi tujuan yang tidak berhubungan sama sekali dengan visi kelompok.

Kalimat kedua, ”Ing Madya Mangun Karsa” bermakna harafiah: ”posisi di tengah dalam tujuan menggugah kemauan”. Seorang pemimpin dalam kalimat ini dideskripsikan lebih lanjut untuk mampu mengambil posisi di tengah-tengah orang yang dipimpinnya pula untuk mengayomi, menjalin kebersamaan, dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan.

Setelah pemimpin mampu menempatkan posisinya secara benar di depan, tiba saatnya bagi pemimpin untuk menempatkan diri di tengah-tengah orang yang dipimpinnya untuk bersama-sama meraih visi kelompok. Dalam hal ini pemimpin harus mau berinteraksi dengan orang yang dipimpinnya dengan keterbukaan, mau menerima masukan dan kritik, sanggup memberikan gagasan dan inspirasi bagi yang dipimpinnya, serta dapat merangkul mereka semua dan menggugah semangat untuk meraih tujuan demi kepentingan bersama.

Patut diperhatikan, sebuah pemberian motivasi berjalan paling efektif apabila pemimpin meletakkan posisinya di tengah-tengah mereka, bukan di depan maupun di belakang. Hal ini bersesuaian dengan kaidah ilmu psikologi Neuro Linguistic Programming / NLP (ilmu memasukkan kata-kata ke dalam pikiran) dan hypnosis, dimana kondisi ideal saat objek penerima dapat menerima baik apa yang dikatakan subjek pelaku adalah saat subjek pelaku mengatur kesesuaian (menyamakan) dirinya dengan objek penerima.

Dalam kaitannya sebagai motivator, pemimpin harus mampu untuk menunjukkan semangat dan kegigihannya untuk mencapai tujuan, sikap optimisme, dan pantang berkeluh kesah. Adalah hal yang tabu bagi pemimpin untuk menunjukkan rasa lelah, putus asa, dan tidak fokus terhadap visi kelompok dalam hal ini.

Namun perlu digarisbawahi pula, menempatkan diri di tengah bukan berarti menanggalkan posisinya sebagai pemimpin. Saat pemimpin menempatkan dirinya di tengah, ia tetaplah seorang pemimpin. Dalam kondisi ini, seorang pemimpin haruslah secara taktis membina kendali kesadaran baik kepada dirinya sendiri maupun kelompok yang dipimpinnya atas eksistensi kepemimpinannya.

Kalimat ketiga, adalah ”Tut Wuri Handayani”, yang bermakna harafiah: ”posisi di belakang untuk memberikan dorongan”. Dalam hal ini, pemimpin diamanatkan untuk mampu mendorong orang yang dipimpinnya agar dapat mencapai kemajuan dan berprestasi pula demi kebaikan orang yang dipimpinnya tersebut.

Inilah tugas mulia terakhir bagi sang pemimpin setelah ia mampu menempatkan posisi di depan maupun di tengah. Pemimpin harus pula mengambil posisi di belakang; bukan dalam kerangka ia lari dari tanggung jawab, tapi untuk menempatkan individu-individu dalam kelompok yang dipimpinnya berada di depan untuk memperoleh kemajuan dan prestasi.

Dalam kaitannya dengan kewajiban ini, pemimpin haruslah mampu mendidik dan mengembangkan orang-orang yang dipimpinnya agar terbentuk pula pemimpin-pemimpin baru sehingga tercipta proses regenerasi, atau setidak-tidaknya orang-orang yang dipimpinnya tersebut memperoleh manfaat pula dari kepemimpinan sang pemimpin.

Demikian pula saat pencapaian visi kelompok, pemimpin haruslah menghindarkan sikap superiornya dan mengedepankan orang-orang yang dipimpinnya sebagai penentu keberhasilan. Sehingga sebuah reputasi dan prestasi tidak hanya dikuasai oleh pemimpin saja, tapi seorang pemimpin yang ideal bahkan mau dan mampu mengedepankan orang-orang yang dipimpinnya untuk meraih hal tersebut terlebih dahulu.

Memahami dan menempatkan diri secara benar ketiga posisi di depan, tengah, dan belakang adalah kunci keberhasilan seorang pemimpin; dan ketiga hal tersebut mutlak diperlukan. Pemimpin tidak akan dinyatakan berhasil dalam memimpin apabila ia tidak mampu memahami dan menjalankan bahkan satu saja dari penempatan ketiga posisi tersebut. Dan kesalahan dalam menempatkan posisi tersebut secara benar akan membawa kehancuran kepemimpinan.

Pembaca, benar-benar sebuah filosofi kepemimpinan yang sempurna, bukan? Sekali lagi, ”Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” telah menjadi prinsip dasar kepemimpinan yang bahkan mencakup teori leadership di berbagai buku yang setebal apapun, dan dari belahan dunia manapun.

0 comments: