Bagong's Chatters


"Happiness doesn't depend upon who you are or what you have, it depends solely upon what you think." (Dale Carnegie)

Dear friends, dalam kesempatan kali ini saya tuangkan posting saya pada mailing list LingkarLoA@yahoogroups.com pada beberapa kesempatan yang lalu, yang waktu itu saya beri judul: "Celotehan Si Bagong".

Perkenankan saya "urun rembug", sharing, mengeluarkan uneg-uneg dan lain-lainnya seputar LoA menurut pemahaman saya yang dangkal ini. Tiada maksud saya untuk menggurui, ataupun mengarahkan, namun anggaplah saja ini sebagai celotehan Si Bagong akibat pertapaannya dengan gaya "ngelamun sambil 'ngowoh' (saya tidak berhasil mendapatkan kotakatanya dalam Bahasa Indonesia, kira-kira mungkin maksudnya membuka mulut)". Bagong yang berceloteh dengan tujuan untuk "didengar", tanpa keinginan untuk "didengarkan". Bagong yang hanya ingin "diguyu", tanpa niatan untuk "digugu".

Ada keragu-raguan di hati ini karena di balik beberapa keberhasilan LoA yang dilakukan, masih terdapat beberapa LoA pula yang gagal dilakukan...
Saat membaca penuturan Bob Proctor bahwa: "LoA selalu bekerja, terlepas
dari apakah Anda mempercayainya, memahaminya, atau tidak.", sempat terbersit benak Si Bagong untuk bertanya dengan modelling ala Milton Erickson: "Selalu? Apakah tidak pernah tidak bekerja sekalipun??"

Nampaknya Christhoper Reeves yang pernah berharap sembuh dari kelumpuhannya pun gagal, dan hingga akhir hayatnya ia tidak berhasil lepas dari kursi rodanya. Konon Anthony Robbins pernah bercita-cita pula menjadi Presiden AS, namun nama-nama yang menghiasi di media massa saat ini tampaknya malahan Hillary Clinton atau Barrack Obama sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat.

Wah, bukannya Bagong berniat untuk memberikan vibrasi negatif kepada saudara-saudari disini...

Hanya saja, Bagong sempat berpikir...
Apabila Michael J. Losier berkata bahwa pikiran kita menghasilkan getaran energi, dan energi yang sama akan dipancarkan oleh semesta sebagai reaksi akibat dari kesesuaian frekuensi...
Plus penjelasan Dr. John Hagelin dalam "The Secret" bahwa pada hakekatnya hanya ada satu akal dalam semesta (intelegensi, kearifan, kesempurnaan) termasuk pula dalam diri kita sendiri...

Maka apabila digabungkan pula dengan pola motivasi manusia dalam kecenderungannya melakukan sesuatu menurut NLP/NAC: "Avoiding Pain" dan "Gaining Pleasure"...

Mungkinkah dapat disimpulkan pula bahwa semesta pun melakukan pola yang sama, yaitu "Avoiding Pain" dan "Gaining Pleasure" juga??

Maksud Bagong, secara sederhananya kira-kira, sebenarnya setiap kali kita berusaha meng-"attract" sesuatu, bisa jadikah berhasil atau tidaknya kita tersebut ditimbulkan pula oleh faktor-faktor "Avoiding Pain" yaitu menghindari kesengsaraan dari bagian dari semesta itusendiri, (yaitu diri kita sendiri dan orang lain); dan juga "Gaining Pleasure" yaitu memberikan kenikmatan untuk bagian dari semesta itu
sendiri (diri kita dan orang lain pula).

Weleh-weleh, kayaknya masih njimet juga celotehan Bagong ini...

Maksud Bagong kembali, dalam kaitannya dengan orang lain (eksternal), kira-kira saat kita meng-"attract" sesuatu yang kita inginkan, pernahkah kita memikirkan akibatnya bagi orang lain pula, sehingga bisa jadi berhasil tidaknya LoA juga bergantung pada:

1. Adakah orang lain yang dirugikan dari LoA kita? (Semesta melakukan "Avoiding Pain")
Jika kita me-LoA keinginan untuk menjadi pemenang dalam suatu pertandingan olahraga, bukankah orang lain (lawan kita) dikecewakan? Namun apabila kita me-LoA agar kita dapat bertanding dengan kemampuan maksimal kita, nampaknya kompetitor kita akan kalah secara terhormat.
Jika kita me-LoA lawan jenis yang kita idam-idamkan, mungkin belum tentu lawan jenis tersebut menjadi "beruntung" saat mendapatkan kita (ha..ha...)
Namun apabila kita me-LoA potensi diri, karisma, dan rasa percaya diri, menurut hemat Si Bagong hasilnya lebih maksimal...

Dan bisa jadi pula saat kita merasa gagal me-LoA sesuatu, sebenarnya bukanlah kegagalan, namun ada alasan di mana tanpa kita sadari dan ketahui, mungkin terdapat orang yang dirugikan dengan LoA kita. Misalkan kita ingin me-LoA tempat parkir hanya karena kita tidak ingin repot berlama-lama antri, bisa jadi kita tidak mendapatkannya karena ada orang lain yang lebih membutuhkan tempat parkir tersebut, dengan pertimbangan semesta bukan hanya karena orang lain tersebut "tidak ingin repot".

2. Adakah orang lain yang diuntungkan dari LoA kita? (Semesta melakukan
"Gaining Pleasure")
Dengan turut memikirkan hasil yang diterima orang lain apabila LoA kita berhasil, Si Bagong berpikir mungkin vibrasi yang ditimbulkan akan lebih kuat...
Karena apa yang di LoA benar-benar dirasakan dengan emosi yang intens yaitu ketulusan hati nurani... bukan hanya "greedy" semata...

Plus pula, dalam kaitannya dengan diri sendiri (internal), mungkin harus dicermati bahwa bisa jadi saat kita gagal meng-"attract" sesuatu itu karena sebenarnya keinginan kita tersebut bukanlah hal yang terbaik bagi kita. Kalo Om Bandler dan Grinder bilang, "The map is not the terittory." Jadi memang bukan LoA nya yang gagal, tapi Penguasa semesta lebih tahu apa yang sebenarnya kita butuhkan, dan apa yang sebaiknya tidak diberikan, demi kebahagiaan manusia itu sendiri...

Lalu, sampai di sini sempat Bagong berhenti mengetik sejenak karena berpikir, kalau memang semesta melakukan "Gaining Pleasure" kepada diri kita sendiri, kok ya saat kita memikirkan sesuatu yang negatif, semesta mengirimkan hal yang negatif tersebut kepada kita?

Wah, bingung juga nih. Sempat terbersit dalam pikiran Bagong untuk menghapus teks-teks tulisan ini karena kram otak. Namun menurut pertimbangan Bagong yang tidak ingin mikir repot ini (begini cara Bagong ngelesnya kalo lagi ga tau apa-apa...), sebenarnya LoA yang demikian harus terjadi, karena saat kita memikirkan sesuatu yang negatif (ketakutan, kecemasan, kekesalan) rasanya bisa disetarakan juga dengan ketidakbersyukuran kita atas segala sesuatu yang sedang terjadi.

Rasanya susah kan, bersyukur sambil cemas mikirin utang...
Kayaknya susah juga, bersyukur sambil ngomel2 dalam hati karena rekan
kerja ngga komunikatif...
Yang ini ngga kalah susahnya, bersyukur sambil deg-degan karena kuatir
ngga lulus ujian...

Apabila rasa syukur tidak kita indahkan atas apa yang kita rasakan saat ini, nampaknya bukanlah tindakan yang bijak dan tidak menunjukkanketakwaan kita kepada Penguasa semesta. Dalam sudut pandang religi manapun rasanya akan sama-sama sepakat jika apa yang ditanam di dunia ini akan dituai secara serupa, entah itu positif atau negatif... (Yin-Yang, hukum karma, surga neraka, dll.)

Well, rasanya cukup sekian celotehan Bagong yang mungkin ngalor-ngidul ini... yang mungkin pula penuh dengan imajinasi ngawur plus kesimpulan serampangan...
Sebelumnya, atau sesudahnya, atau pula kedua-duanya, mohon dimaafkan apabila terjadi kesalahan kata ataupun makna...

Read More......

Talismans and Ritual Acts to Improve Your Luck


"Luck is what happens when preparation meets opportunity.” (Lucius Annaeus Seneca)

Belum lama ini saya membaca kembali sebuah buku lama berjudul “Improve Your Luck & Your Wildest Dreams Can Come True” terbitan MicroMags tahun 2000. Buku ini yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Interaksara dengan judul “Tingkatkan Keberuntungan dan Impian Paling Ambisius Anda Bisa Menjadi Nyata”. Saat saya baca untuk pertama kalinya 3 tahun yang lalu, buku ini sebenarnya cukup inspiratif dengan mengungkapkan perlunya kekuatan pikiran dan rasa percaya untuk merubah hidup menjadi lebih baik; yang akhirnya dalam beberapa tahun sesudahnya saya kenal dan saya pahami secara lebih luas sebagai “Law of Attraction”.

Namun ada sebuah bab yang cukup mengganjal dalam pikiran saya waktu itu, yang cukup mengurangi apresiasi saya terhadap isi buku ini. Padahal dalam bab-bab sebelumnya saya merasa menemukan suatu inspirasi yang luar biasa. Ada sebuah topik yang membuat saya harus mempertanyakan kembali kebenarannya, yang termuat dalam Bab X yang berjudul: “Ubah Keberuntungan Anda dengan Pesona dan Ritual Keberuntungan”. Isi bab ini menganjurkan pembacanya untuk membuat sendiri kebiasaan atau jimat sebelum melakukan suatu tindakan yang tujuannya untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri dan lebih menjamin terjadinya keberuntungan. Berikut saya sajikan petikan dalam bab tersebut:


Para atlit melakukan hal-hal aneh untuk membawa keberuntungan. Pesona dan ritual keberuntungan membantu para atlit menyiapkan diri untuk suatu pertandingan dengan member mereka rasa mantap, aman, dan bahwa mereka mengendalikan keadaan yang sebenarnya tidak mungkin bisa mereka kendalikan: cuaca, cedera, dan peluang buruk.

Misalnya, Michael Jordan memakai celana pendek gymnasium North Carolina di bawah seragamnya. Di tahun 1982, ia membantu Universitas North Carolina memenangkan kejuaraan bola basket perguruan tinggi nasional; sejak itu, ia selalu mengenakan celana pendek gymnasium UNC – dan sekarang ia orang dengan bayaran tertinggi di dunia olahraga. Ia bukan satu-satunya atlit yang mengenakan celana pendek keberuntungan. Deion Sanders memakai celana pendek petinju yang didekorasi dengan lambang dollar besar berwarna putih ke dan dari setiap pertandingan Dallas Cowboys.

Meskipun banyak orang mengira bahwa nomor 13 adalah angka sial, quarterback Dan Marino dan petenis professional Mary Pierce mengatakan bahwa 13 adalah angka keberuntungan mereka. Dan mengenakan No. 13 dengan Miami Dolphins, dan pada turnamen nasional pertamanya, Mary mengalahkan unggulan pertama di Lapangan 13. Tetapi Juwan Howard mau memakai apa saja selama ada angka 5 di dalamnya.

Apabila Randy Johnson menjadi pitcher pertama dalam sebuah pertandingan, maka ia akan selalu memainkan drumnya dan memakan satu piring besar pancake untuk sarapan.

Banyak atlit punya suatu kebiasaan yang mereka dengan setia lakukan – supaya mereka tetap beruntung.

Troy Aikman hanya punya satu takhayul: teman seregu yang sama harus membantu dia menarik baju jerseynya melewati bantalan bahunya sebelum tiap gim dimulai.

Apakah semua itu manjur? Apakah semua ritual dan benda-benda “sihir” ini membawa tambahan bagi keberuntungan kita? Para ahli berkata bahwa semua itu manjur, meskipun tidak dengan cara yang Anda bayangkan.

“Para atlit top menggunakan ritual ini supaya mereka bisa berkonsentrasi, supaya mereka bisa mengarahkan perhatian mereka pada kinerja mereka,” kata Dr. Bruce Ogilvie, seorang pionir dalam bidang psikologi olahraga.

“Semua manipulasi lahiriah yang kecil ini memungkinkan Anda menentukan apa yang penting; supaya bisa tetap pada saat itu,” Dr. Ogilvie menunjukkan.

Banyak di antara kita mempelajari hal tersebut dari para atlit. Setiap orang bisa menggunakan ritual untuk menghapus gangguan. Jika hari depan Anda menuntut perhatian Anda sepenuhnya – ujian yang harus dilalui, wawancara pekerjaan, sesuatu yang meminta konsentrasi dan keberuntungan – Anda ingin memusatkan perhatian diri Anda pada tugas yang menunggu.

Bagaimana ritual itu secara rinci dilakukan tidaklah penting. Yang penting adalah tujuan di balik ritual tersebut, begitulah pendapat Dr. Joel Kirsch, seorang psikolog olahraga.

Bersama ini beberapa cara Anda bisa menerapkan prinsip ini pada kehidupan Anda sendiri:

Anda bisa punya ritual yang bahkan orang yang sedang memperhatikan Anda tidak akan bisa lihat. Misalnya, apabila Anda naik mobil Anda di pagi hari, ketuk bagian atas setir tiga kali. (Tiga adalah nomor keberuntungan di masyarakat mana saja!).

Hal tersebut akan memberi sinyal, “Aku sedang mengumpulkan kesadaranku akan lingkungan. Aku memulai hariku. Aku mengikuti jalanku sendiri.” Apakah dengan berbuat begitu akan membantu gaji Anda dinaikkan? Bisa jadi.

Atau, apabila Anda pergi kerja, daripada membalikkan halaman kalender harian begitu saja, jadikan kebiasaan tersebut ritual harian.

Berdiri di meja tulis Anda. Berhenti sesaat. Bersihkan pikiran Anda. Pandanglah dengan seksama halaman yang sedang Anda balik, menjadikan gerakan itu lambang meninggalkan hari kemarin di belakang Anda dan mulai dengan tenaga baru menghadapi hari yang baru.

“Ada arti yang lebih mendalam terhadap apa yang sedang Anda lakukan,” kata Dr. Kirsch.


Dari petikan di atas, meskipun pentingnya “jimat” dan kebiasaan ritual telah dijabarkan secara ilmiah, tetap saja saya tidak dapat memaknainya dengan logika saya waktu itu dan lebih saya anggap sebagai wacana provokatif yang sama sekali tidak jelas manfaatnya. Namun setelah saya mengenal “Anchor” (jangkar) dalam ilmu Neuro Linguistik Programming (NLP) serta hipnoterapi yang saya pelajari akhir-akhir ini, baru saya pahami bahwa tindakan ritual dan “jimat” pembantu sukses tersebut nyata-nyata merupakan Anchor yang memang dikreasikan dengan sengaja, bukan sebagai sarana magis ataupun klenik.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Anchor? Anchor merupakan sebuah program dari pemikiran bawah sadar (subconscious mind) yang menghubungkan realita dalam simbol-simbol yang dikenali sistem panca indera (penglihatan, pendengaran, perasaan, pengecap, dan penciuman) dengan keadaan emosional seorang individu, baik yang dipahami oleh pikiran sadar (conscious mind) ataupun tidak. Sebagai contoh adalah ikat pinggang yang bisa menjadi Anchor bagi suatu individu sehingga saat individu tersebut lupa memakainya, ia menjadi gelisah dan tidak percaya diri.

Anchor dapat disadari langsung oleh pikiran sadar (conscious mind) ataupun tidak langsung (terhubung hanya secara langsung pada pikiran bawah sadar). Anchor yang tidak disadari secara langsung ini dapat membuat seolah-olah apa yang dialami individu tidak berkaitan dengan perilakunya. Anchor dapat dibentuk secara sengaja (sadar) maupun pula tidak sengaja, dapat pula diubah, ataupun dihilangkan.

Pelaku hipnoterapis kerap kali menemukan Anchor yang terdapat pada kliennya dan dibentuk tanpa sadar. Misalnya karena klien tersebut pernah mempunyai pengalaman buruk saat berada di dalam lift, maka setiap kali ia melihat lift jantungnya berdebar-debar dan ia merasa gelisah sekali. Padahal pengalaman masa lalunya tersebut bahkan telah dilupakan oleh pikiran sadarnya (conscious mind). Dalam hal ini lift tersebut telah menjadi Anchor bagi klien tersebut sehingga Anchor tersebut harus dihilangkan.

Anchor tidaklah selalu buruk. Banyak pula Anchor yang sengaja dibuat oleh seorang hipnoterapis kepada kliennya untuk mendukung sugesti yang diberikan kepada klien tersebut. Sebagai contoh, klien yang ingin berhenti merokok dianjurkan oleh hipnoterapis untuk menutup hidungnya selama 3 detik pada masa-masa di mana kebiasaan merokok itu timbul (misalnya sesudah makan), dan memang setelah melakukannya, ia benar-benar tidak ingin merokok lagi. Apa yang terjadi? Ternyata pada saat terapi, hipnoterapis tersebut memberikan Anchor kepada kliennya, yaitu menutup hidungnya selama 3 detik, sehingga setelah selesai terapi, klien benar-benar tidak berniat merokok kembali meskipun ia sedang dalam masa-masa dimana ia biasa merokok (sehabis makan, misalnya).

Sebagai contoh lain, pernahkah sewaktu kecil Anda diberitahu oleh teman atau orangtua Anda bahwa mengantongi batu dapat menahan keinginan untuk buang air? Meskipun sebenarnya tidak ada keterkaitannya, namun di masa kecil apabila kita benar-benar mempercayainya nyata-nyata kebiasaan itu efektif untuk dilakukan. Mengapa? Dalam hal ini, sugesti ditimbulkan dari Anchor yang memang dibentuk oleh mitos yang diterima oleh teman atau orangtua Anda, yaitu mengantongi batu.

Dengan pemahaman-pemahaman mengenai Anchor inilah, akhirnya saya menyadari bahwa apa yang dianjurkan dan dijabarkan oleh buku “Improve Your Luck & Your Wildest Dreams Can Come True” memang nyata-nyata bermanfaat dan dapat dipahami dengan logika. Sebuah “jimat” dan kebiasaan-kebiasaan aneh yang menjadi ritual dapat dengan sengaja dibuat dengan pemahaman bahwa hal ini semata-mata digunakan sebagai Anchor bagi pikiran bawah sadar (subconscious mind) kita untuk dapat meningkatkan percaya diri, bukannya karena benda atau kegiatan tersebut mengandung unsur magis di dalamnya.

Apakah kegiatan membuat “jimat” dan kegiatan ritual ini bertentangan dengan norma-norma agama? Saya tidak memiliki kompetensi untuk menjawabnya. Saya pribadi berpendapat bahwa sepanjang kita memahaminya sebagai kegiatan untuk membuat Anchor bagi diri kita dan bukan memaknai unsur magis ataupun klenik di dalamnya, ini berarti kita memanfaatkan anugerah pikiran bawah sadar (subconscious mind) yang memang merupakan karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada diri kita untuk disyukuri dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Benda dan kegiatan tersebut bukan merupakan suatu tindakan kontradiktif sepanjang kita tidak bermaksud memberhalakannya sebagai sesuatu yang meminimalisir kepercayaan kita terhadap kuasa-Nya. Namun, bagi Anda yang tidak sependapat dengan saya ataupun masih ragu-ragu, Anda dapat pula membuat Anchor sendiri yang Anda yakini selaras dengan kepercayaan Anda sebelum Anda melakukan sesuatu, semisal dengan kegiatan doa menurut kepercayaan Anda sendiri.

Silakan mencoba dan mengkreasikan sendiri Anchor yang sesuai untuk Anda!

Read More......

Not Just “Pretend”, but Also “As If”


“The state of your life is nothing more than a reflection of your state of mind.” (Dr. Wayne W. Dyer)

Kembali saya harus membahas topik dalam buku dan film dokumenter “The Secret” dan kaitannya dengan pikiran bawah sadar (subconscious mind) karena nampaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikaji lebih mendalam dalam buku dan film dokumenter “The Secret” (sebelumnya saya bahas lewat penulisan saya yang terdahulu dalam “Behind ‘The Secret’” dan Synergetic Approach for Subconscious Mind”).

Apabila dalam kegiatan “percaya” (Believe) yang disarankan dalam “The Secret” selayaknya diawali dengan “memulai lewat tindakan berpura-pura” (karena jika kita berpura-pura, kita akan mulai sungguh-sungguh percaya bahwa kita menerima apa yang kita inginkan), dan dalam penulisan saya yang terdahulu saya garisbawahi pentingnya “suatu getaran positif dalam pikiran bawah sadar (subsconcious mind)”, ternyata definisi “berpura-pura” perlu ditinjau secara lebih lanjut.

Sebenarnya tidak akan menjadi masalah apabila maksud yang terkandung dalam “The Secret” bersesuaian dengan “getaran positif dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind)”, karena masalah definisi suatu kata bagaimanapun juga bisa diinterpretasikan secara berbeda-beda maknanya. Namun lewat buku “Transformasi Diri – Memberdayakan Diri melalui Hipnoterapi” yang membahas masalah hipnoterapi dan pikiran bawah sadar manusia dan ditulis oleh NSK Nugroho, seorang pakar hipnoterapis Indonesia, dapat saya garisbawahi bahwa pilihan kata yang lebih tepat untuk melakukan kegiatan “percaya” (believe) adalah bukan sekedar “berpura-pura” (pretend), namun juga “seolah-olah”(as if). Sehingga tanpa bermaksud untuk mengkoreksi, selayaknya dalam tindakan “berpura-pura” (pretend) tersebut dipahami secara lebih meluas dengan melibatkan makna “seolah-olah” (as if).

Apa yang berbeda dari 2 definisi di atas? Nampaknya tidak (terlalu) berbeda. Namun perlu diperhatikan bahwa menurut buku “Transformasi Diri – Memberdayakan Diri melalui Hipnoterapi” tersebut, definisi “berpura-pura” belum tentu membentuk wawasan internal (ide) atau tidak sesuai dengan wawasan internal dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind) sehingga sistem pikiran sadarnya (conscious mind) masih berperan – dalam mengkritisi, menganalisis, mempertimbangkan, dan sebagainya – terhadap tindakan sekarang, sehingga pelaku TIDAK NETRAL atas perilaku dan tindakan yang diperbuatnya sekarang.

Sedangkan, tindakan “seolah-olah” (as if) adalah suatu tindakan “berpura-pura” (pretend) yang dilanjutkan untuk membentuk wawasan internal (ide) sehingga terbentuk modifikasi sistem nilai atau program. Oleh karena itu, sangat tipis perbedaan antara “berpura-pura” dan “seolah-olah”.

Suatu tindakan “berpura-pura” dapat menjadi “seolah-olah”, jika:
• Pelaku melepaskan peran sistem pikiran sadarnya (conscious mind) dalam mengkritisi, menganalisis dan sebagainya – dengan membiarkan dirinya mengikuti arus emosi yang terjadi, seperti menghayatinya/menjiwainya dengan sepenuh hati – sehingga informasi tersebut lolos masuk ke pikiran bawah sadar (subconscious mind) untuk diproses, dan
• Mengulang-ulang tindakan “berpura-pura” tersebut (sehingga menjadi keadaan yang sugestif) dengan emosional (agar benar-benar terlepas dari campur tangan sistem pikiran sadar / conscious mind) dan melaksanakannya secara konsisten.
Proses di atas akan semakin cepat apabila sugesti untuk “berpura-pura” tersebut sesuai dengan sistem nilai yang sudah terbentuk dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind).

Dengan kata lain, tindakan “seolah-olah” cenderung menetap dan membentuk modifikasi program yang mendasari tindakan/perilaku selanjutnya, berbeda dari tindakan “berpura-pura” yang cenderung sementara.

Karena dalam teori hipnosis sendiri dipahami bahwa meningkatnya kreativitas seseorang dalam keadaan terhipnosis cenderung membuat orang tersebut berperilaku “seolah-olah” (as if) bahwa apa yang diimajinasikannya seolah sedang terjadi. Hal ini terjadi karena apa yang diimajinasikannya telah terkait dengan suatu sistem nilai dalam pikiran bawah sadarnya (subconscious mind). Dengan demikian, sangat besar kemungkinannya secara refleks (sengaja atau tidak), keadaan ini dapat berlanjut menjadi suatu reaksi tindakan yang lama-kelamaan menjadi perilaku.

Pembaca, pemahaman di atas bukan bermaksud mengecilkan makna dan manfaat “The Secret” ataupun menyalahkannya, karena sekali lagi saya katakan bahwa sebuah definisi kata dapat diinterpretasikan dengan makna yang berbeda bagi orang yang berbeda-beda pula. Namun dengan pemahaman lebih lanjut mengenai definisi “pretend” dan “as if”, kita dapat mengetahui lebih lanjut makna-makna dan arah tujuan yang harus dilakukan secara benar dalam kegiatan “percaya” (believe) untuk dapat mencapai apa yang kita cita-citakan.

Read More......

Knowledge: The Essential of Human Life


"I think, therefore I am.” (Rene Descartes)

Kutipan di atas lebih dikenal dalam bahasa Latin sebagai: "Cogito Ergo Sum" yang bermakna: “Aku berpikir, maka aku ada”. Kalimat yang menjadi dasar filosofi Barat ini dicetuskan oleh Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf Perancis yang mendapat gelar sebagai “Bapak Filosofi Modern”. Pernyataan ini menegaskan bahwa ia sebagai makhluk individu menyadari keberadaan dirinya karena ia berpikir. Memang demikianlah, proses berpikir menegaskan keakalbudian manusia yang menyatakan keberadaannya terhadap individu manusia yang lain, sekaligus membedakan harkat hidupnya dibandingkan makhluk hidup yang lain, yaitu hewan dan tumbuhan.

Sudah menjadi tuntutan hidup dan rahmat bagi umat manusia untuk berpikir, yang sekaligus dapat didefinisikan pula bahwa kegiatan berpikir ini menjadi kewajiban dan hak umat manusia dalam menjalani hidupnya. Dari kegiatan berpikir inilah, proses kehidupan manusia terus berkembang dari waktu ke waktu. Dalam tahap manusia primitif yang saat itu hanya mengenal kebutuhan dasar untuk bertahan hidup (survive) dan berkembang biak (sex).

Demi mempertahankan hidupnya (survive), sebagai individu manusia dianugerahi rahmat untuk berpikir. Hal ini menjadi hak yang seterusnya berkembang dalam kegiatan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, lebih unggul (dominan) daripada individu lain, dan mencari makna kehadirannya dalam kehidupan ini lewat proses aktualisasi dirinya. Dalam kegiatan berpikir tersebut dihasilkan ilmu pengetahuan dan membentuk pola pikir manusia yang lebih baik berupa kecerdasan akal budi. Kegiatan berpikir manusia inilah yang menegaskan dirinya sebagai makhluk individu yang mempunyai keberadaan dan perlu berarti di dunia ini.

Di sisi lain, dalam kegiatan perkembangbiakan manusia (sex) yang menghasilkan manusia baru, pertumbuhan fisik manusia baru tersebut dari masa ke masa dapat berjalan tanpa keterlibatan manusia lain, namun tidak demikian dengan pertumbuhan mental dan kecerdasannya. Proses berpikir manusia dan pertumbuhan kecerdasannya sangat bergantung kepada orang lain, sebagai esensi dari keberadaannya sebagai makhluk sosial. Selanjutnya, manusia perlu mengembangkan kegiatan berpikirnya dan meneruskan proses pewarisan ilmu pengetahuan tersebut kepada manusia lain, setidak-tidaknya kepada keturunannya (sebagai akibat dari kebutuhan dasarnya untuk berkembang biak), sehingga keturunannya tersebut dapat dijamin keberlangsungan hidupnya (dinafkahi) dan menjalani hidup ini dengan lebih baik (dididik). Inilah hakikat kewajiban manusia untuk berpikir dan mengembangkan pengetahuan karena statusnya sebagai makhluk sosial.

Dalam proses berpikir sebagai tuntutan hidup manusia, tak jarang pula didapat suatu berbenturan ide antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan mengakibatkan perselisihan. Sebagai contoh mendasar saya ambil dari perbedaan pola pikir yang berhubungan dengan cara pandang manusia terhadap causa prima sebagai akibat pertama yang mengakibatkan segala sesuatu (termasuk manusia itu sendiri): benturan kaum atheis dengan kaum religius, benturan kaum religius satu dengan kaum religius yang lain, bahkan antara kaum religius itu sendiri, yang tak jarang dijumpai di berbagai kurun waktu. Padahal apabila kita sama-sama menyadari kewajiban manusia untuk berpikir demi fungsi sosialnya, perselisihan tersebut dapat dihindarkan. Karena manusia berpikir demi sesamanya, sudah seharusnyalah kita menghargai usaha berpikirnya meskipun itu tidak bersesuaian dengan pola pikir kita. Bagaimanapun juga, selayaknyalah kita menghargai manusia yang berpikir, meskipun pikiran tersebut bertentangan dengan pemikiran kita sendiri, karena manusia tersebut berusaha berkontribusi bagi kita. Daripada manusia yang lain yang tidak berpikir, yang berarti mereka tidak mempunyai kepedulian terhadap hidup manusia yang lain.

Dalam cara pandang pemikiran manusia tentang ilmu pengetahuan dan causa prima tersebut saya temukan sebuah filosofi tentang ilmu pengetahuan, kecerdasan (kebodohan), dan hakikatnya dalam kehidupan manusia yang sungguh-sungguh menarik dan patut mendapat apresiasi lebih dalam buku “Laskar Pelangi” karangan Andrea Hirata pada kalimat-kalimat awal Bab 11 – “Langit Ketujuh” yang petikannya sebagai berikut:

“Kebodohan berbentuk seperti asap, uap air, dan kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan pernah sekalipun berhenti.

Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing. Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat. Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer – lapisan paling luar atmosfer dengan bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruskan melaju menaklukkan langit ketujuh.

Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai gambaran imaginer tempat tertinggi dari yang paling tinggi. Di tempat asing itu, tempat yang tak’kan pernah memiliki nama, di atas langit ke tujuh, disitulah kebodohan bersemayam. Rupanya seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan. Maka apabla kita tanyakan sesuatu kepada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan meracau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagian yang lain diam terpaku, mulutnya ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala mereka.

Kita tak perlu menempuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena seluruh lapisan langit dan gugusan planet itu sesungguhnya terkonstelasi di dalam kepala kita sendiri. Apa yang ada pada pikiran kita, dalam gumpalan otak seukuran genggam, dapat menjangkau ruang seluas jagat raya. Para pemimpi seperti Nicolaus Copernicus, Battista Della Porta, dan Lippershey malah menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan system tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seorang pemimpi, menuliskan ilmu dalam puisi-puisi.

Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemayam, adalah metafor dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor keagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap lembar daun yang akan jatuh…”


Sebuah deskripsi yang luar biasa tentang pengungkapan hakikat pencarian ilmu pengetahuan bagi kecerdasan manusia. Karena sebenarnya ilmu pengetahuan terus berkembang seiring dengan hidup manusia, dan bermuara pada Pencipta manusia itu sendiri. Tidak pernah ada ilmuwan yang berpredikat paling pintar dan paling berilmu, dan dengan menyadari hal yang demikian ini menjadikan manusia untuk menyadari “kebodohannya” sehingga manusia terus berusaha untuk mengembangkan pengetahuannya supaya selaras dengan kehendak Penciptanya sebagai citra dan makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna.

Karena tidak ada seorang pun yang dapat menyibak tirai keseluruhan ilmu pengetahuan inilah selayaknya pula manusia menyadari keberadaan causa prima yang berkuasa atas ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahuan yang semakin berkembang dari masa ke masa ini semestinya tidak menjadikan manusia merasa dirinya mempunyai supremasi mutlak atas segala hal dan meniadakan causa prima.




Read More......

Fengshui and/or (Another) Myths’ Affects to Human Belief


“There are no limitation to the mind except those we acknowledge.” (Napoleon Hill)

Menjadi sedikit kesulitan bagi saya kali ini untuk dalam rangka pencarian rangkaian kata yang tepat untuk pemilihan judul di atas, Pembaca. Saya ingin mengulas masalah kepercayaan terhadap Fengshui dan mitos-mitos (lainnya) dalam konteks mempertimbangkan pengaruh-pengaruh yang bisa ditimbulkannya. Namun tidak mudah bagi saya untuk mengambil keputusan awal apakah sebenarnya Fengshui dapat dikategorikan sebagai mitos-mitos biasa yang menjadi “warisan” kepercayaan masa lampau ataukah sebenarnya merupakan sebuah landasan teori tentang keseimbangan alam semesta?

Dewasa ini Fengshui telah menjadi salah satu disiplin ilmu tersendiri, sehingga saya tidak dapat serta-merta mengasosiasikannya sebagai bagian dari mitos-mitos sederhana yang banyak terdapat dalam masyarakat tertentu. Namun bagaimanapun juga, pemahaman tentang Fengshui terkadang masih juga melibatkan alasan-alasan yang nampaknya tidak berkait langsung dengan logika dan realitas, yang tentunya tidak salah pula apabila sebagian masyarakat modern menganggapnya sebagai mitos biasa yang tidak perlu dipertimbangkan.

Saya sedikit terkejut saat seorang pakar Fengshui bernama Marie Diamond menjadi salah satu guru Hukum Tarik-menarik (Law of Attraction) seperti yang dimuat dalam “The Secret”. Nampaknya, pemahaman Fengshui dan Hukum Tarik-menarik tidak dapat dikaitkan begitu saja, bahkan bisa dibilang pula saling bertentangan. Hukum Tarik-menarik meyakini bahwa kita dapat mendapatkan segala sesuatu dengan memikirkannya terlebih dahulu, sementara ilmu Fengshui malahan banyak memberikan begitu banyak pantangan dan larangan yang harus dihindari dalam pengaturan tata ruang dan hal-hal lain tanpa sudut pandang realitas yang apabila dilanggar akan menjadi alasan bagi kita dalam terhambatnya suatu keberhasilan tujuan.

Meskipun beberapa pakar Fengshui telah mengulas berbagai logika sebagai argumentasi bagi orang-orang yang mempertanyakan realitas Fengshui, namun tetap saja tidak memberikan kejelasan yang pasti dapat ditarik kesimpulan dengan akal sehat, setidaknya bagi saya sendiri. Semisal, pantangan adanya kamar kecil / WC dalam rumah bertingkat tepat berada di atas kamar tidur lantai dasar, karena dapat menimbulkan chi (energi/aura) negatif bagi penghuni kamar tidur. Alasan rasional yang diberikan oleh beberapa pakar Fengshui yang menyatakan bahwa kondisi tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dalam estetika dan kesehatan pun tampaknya masih belum bisa saya terima begitu saja. Bagaimanapun juga, apabila diberikan pengaturan yang nyaman dan higienis pada kondisi tata ruang di atas, harusnya alasan tersebut bisa diabaikan, bukan?

Namun setelah melalui berbagai macam pertimbangan, saya menemukan sebuah pemikiran yang menjadi landasan umum bagi alasan-alasan yang mendasari teori Fengshui dan kaitannya dengan Hukum Tarik-menarik. Seperti yang telah dibicarakan dalam pembahasan saya terdahulu (dengan judul “Synergetic Approach for Subconscious Mind”), Hukum Tarik-menarik mengikuti getaran yang ditimbulkan oleh pikiran bawah sadar kita. Sehingga meskipun nampaknya pikiran sadar (conscious mind) kita tidak merasakan getaran (atau “chi” dalam istilah Fengshui) bernuansa negatif yang ditimbulkan akibat ketidaksesuaian tata ruang, sangat dimungkinkan apabila ternyata pikiran bawah sadar (subconscious mind) kita tidak berperilaku sama. Dengan kata lain, pikiran bawah sadar yang bekerja lebih sensitif daripada pikiran sadar bisa jadi merasakan ketidaknyamanan akibat ketidaksesuaian tata ruang tersebut, dan menimbulkan getaran negatif yang memberikan pengaruh buruk terhadap kehidupan kita.

Berbagai macam aturan-aturan dalam Fengshui nampaknya memang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan harmoni, yang tentu saja dirasakan lebih peka oleh pikiran bawah sadar kita. Sehingga bisa dinyatakan meskipun seseorang tidak mempercayai Fengshui dan tidak mengaplikasikannya dalam tata ruang bisa jadi tetap menerima getaran negatif yang timbul dari pikiran bawah sadar akibat ketidaksesuaian yang terjadi.

Dengan pemahaman ini, pertanyaan apakah sebenarnya ilmu Fengshui bisa dikaitkan dengan Hukum Tarik-menarik bisa terjawab. Setelah melalui pertimbangan lebih lanjut sebagaimana saya ulas di atas, in my humble opinion, I must say: “It really could be correlated”. Namun dengan catatan, bahwa sebenarnya ini tidak mutlak.

Saya rasa tidaklah perlu bagi seseorang untuk mempunyai rasa ketakutan dan paranoid yang berlebihan terhadap penerapan Fengshui. Tidak perlu pula tindakan ekstrem secara serta-merta untuk merombak tata ruangnya saat ditemukan adanya ketidaksesuaian dengan ilmu Fengshui. Apa yang mendasari pernyataan saya ini?

Menurut hemat saya, apabila ilmu Fengshui mempertimbangkan getaran yang ditimbulkan oleh pemikiran bawah sadar, dengan sendirinya seyogianya kita tinggal bekerjasama dengan pikiran bawah sadar saat sesuatu hal yang sebelumnya kita sebut sebagai “ketidaksesuaian” tersebut ditemukan. Sesuatu yang sebelumnya diterima oleh pikiran bawah sadar sebagai “ketidaksesuaian” bisa kita komunikasikan secara intensif untuk diterima sebagai “kesesuaian”. Maka chi buruk yang tadinya menjadi getaran negatif bagi diri kita, dapat kita ubah sendiri menjadi sebuah getaran yang positif dengan meresapi dalam-dalam adanya “kesesuaian” ke pikiran bawah sadar kita.

Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pula pada mitos-mitos tertentu yang ada di sekitar kita. Sebagaimana contoh apakah sebenarnya ada yang disebut sebagai angka sial (sebagian orang menyebut angka “4” atau “13”), dan apakah benar pula memang bisa terjadi melindas seekor kucing dalam perjalanan akan menyebab kan kesialan? Secara realistis memang kita harus menjawabnya bulat-bulat dengan kata “Tidak”. Namun Hukum Tarik-menarik sebenarnya memberikan jawaban yang sedikit berbeda.

Dalam Hukum Tarik-menarik, kenyataan akan timbul akibat dari pemikiran yang menimbulkan getaran. Apabila dikaitkan dengan pemikiran bawah sadar, bisa jadi sebuah mitos yang berlaku telah diterima oleh pikiran bawah sadar melalui sebuah proses yang telah tertanam sejak lama. Sehingga segala sesuatu bisa terjadi sesuai mitos yang ada karena sebenarnya pikiran bawah sadar kita sendiri yang “menariknya” melalui getaran negatif.

Maka sangat dimungkinkan sesuatu mitos yang berkembang bisa menimbulkan akibat yang bersesuaian, bahkan kepada seseorang yang sebenarnya dalam pikiran sadarnya nyata-nyata tidak mempercayai mitos tersebut. Ini dapat terjadi karena sangat terbuka kemungkinan pikiran bawah sadar seseorang tersebut telah menerima secara simultan informasi mengenai mitos yang berlaku dalam masyarakatnya (bahkan pula semenjak seseorang tersebut lahir) dan mempengaruhi kepercayaan bawah sadarnya (Belief).

Ini menjadi suatu bahan pemikiran bagi kita bahwa suatu perkembangan suatu mitos dalam masyarakat dapat memberikan efek yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Carl Gustav Jung (1875-1961), ahli psikologi yang mencetuskan teori “psikologi analitis” bahkan menaruh minat yang besar terhadap penelitian mitologi-mitologi dari belahan dunia Afrika hingga bagian selatan Amerika Serikat yang dianggapnya berkorelasi dengan pemikiran bawah sadar.

Saat mitos tersebut telah diserap pikiran bawah sadar manusia melalui proses yang terus-menerus bahkan semenjak manusia tersebut lahir akan ditengarai membawa getaran-getaran yang sebenarnya “menarik” hal-hal yang besesuaian dengan mitos. Hal ini tampaknya menjadi jawaban pula mengapa suatu mitos yang melekat dalam suatu daerah tertentu bisa menimbulkan efek yang bersesuaian dengan mitos bagi para penduduk di daerah tersebut, namun kejadian yang sama tidak menimbulkan akibat apa-apa di daerah dimana mitos tersebut tidak dikenal.

Seperti halnya masyarakat Italia yang lebih mempercayai angka “17” sebagai angka sial, dan bukannya angka “4” pada masyarakat China atau angka “13” pada masyarakat Eropa lainnya dan Amerika. Dapat dipahami pula mengapa orang China menganggap angka “4” sebagai angka sial karena berbunyi sama seperti kata “mati” (sama-sama diucapkan sebagai “shi”) dalam bahasa China, sehingga pikiran bawah sadar serta-merta menerimanya sebagai suatu getaran yang buruk. Sangat terbuka sekali kemungkinan masyarakat China benar-benar menerima akibat dari mitos angka “4” tersebut, namun tidak dirasakan sama sekali oleh masyarakat Italia, dan sebaliknya.

Bagaimanakah cara mengatasi mitos yang sudah berkembang ini? Tidak lain dan tidak bukan, tentu saja dengan bekerjasama dengan pikiran bawah sadar pula secara intensif untuk memaknai suatu mitos sebagai hal yang sesungguhnya benar-benar tidak relevan. Sebagai contoh pertimbangan, seseorang yang mempunyai pemahaman religius yang amat kuat sangat jarang sekali mendapat kendala yang berkaitan dengan mitos dan ketidaksesuaian Fengshui. Hal ini dimungkinkan karena ia mempunyai kepercayaan kuat (Belief) tentang religinya hingga ke pikiran bawah sadar sehingga tidak memberikan peluang terhadap pemahaman mitos dan ketidaksesuaian Fengshui di dalamnya.

Inilah yang terjadi dalam dunia ini menurut pemikiran saya, Pembaca, bahwa Fengshui dan mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat memang ternyata sangat dimungkinkan untuk dapat memberikan pengaruh kepada kehidupan kita. Namun dengan terus mengkomunikasikan Belief yang lebih kuat kepada pikiran bawah sadar bahwa segalanya baik adanya, niscaya kita akan terhindar dari akibat yang ditimbulkan oleh mitos-mitos tersebut tanpa perlu mempercayainya dan dapat memaknai segala bentuk yang keseluruhannya dipandang sebagai “kesesuaian” yang berlaku di dunia ini.

Read More......

Synergetic Approach for Subconscious Mind


“We all have ability. The difference is how to use it.” (Stevie Wonder)

Pembaca, jangan menyalahkan saya karena lagi-lagi saya "terpaksa" harus membahas kembali masalah ”Law of Attraction” dalam kaitannya pula dengan film dokumenter dan buku ”The Secret” lewat tulisan saya kali ini. Masalahnya, dalam satu tahun terakhir ini, topik ini selalu saja berhasil meng-attract (menarik) minat orang-orang yang haus akan motivasi dan proses pencarian makna serta tujuan dalam menjalani kehidupan yang sangat berharga ini.

Akibatnya, hal-hal baru yang berkaitan dengan topik ini selalu saja saya temukan pula, sehingga saya merasa perlu untuk menuangkan ide-ide menarik yang saya anggap memiliki keterkaitan dengan “Law of Attraction” tersebut dan mendukung pengungkapan “The Secret” secara lebih mendalam.

Dalam tulisan saya sebelum ini, yang berjudul “Behind ‘The Secret’”, terdapat sedikit pembahasan mengenai ketidaksesuaian ide dalam menjalankan langkah-langkah pemanfaatan “Law of Attraction” antara Michael J. Losier dalam bukunya yang berjudul sama dengan “The Secret”.

Menurut Michael J. Losier, ”Law of Attraction” akan selalu merespon gerakan yang didasari oleh perasaan subjek pelaku, bukan oleh kata-kata yang diucapkan. Maka subjek pelaku perlu menyadari pula getaran pikiran yang ditimbulkan dari kata-katanya, apakah merupakan getaran yang menimbulkan nuansa positif bagi pikiran, ataukah getaran yang sebaliknya menimbulkan nuansa negatif.

Oleh karenanya, meskipun teknik afirmasi (mengucapkan kata-kata positif untuk membangun diri) tetap penting pula dan merupakan bagian dari teori NLP, sedianya patut diperhatikan pula bahwa sebuah penegasan / kata-kata (afirmasi) positif pun mampu memberikan getaran yang negatif kepada subjek pelaku. Sebagai solusinya, Michael J. Losier menganjurkan untuk menambahkan kata-kata: ”Saya sedang dalam proses...”

Penegasan Michael J. Losier tersebut seakan-akan tidak mendukung adanya kegiatan ”berpura-pura” yang dianjurkan dalam ”The Secret”. Kata-kata ”sedang dalam proses...” akan melemahkan kegiatan untuk ”berpura-pura seakan-akan pelaku sudah mendapatkannya”.

Meskipun dalam tulisan sebelumnya saya mempunyai pendapat bahwa kedua ide tersebut secara prinsipal tidak bertentangan, saya akui pula bahwa argumen yang saya berikan masih cukup lemah untuk diperdebatkan kembali. Namun baru-baru ini saya akhirnya dapat menemukan sebuah pendapat yang lebih mampu untuk ”menjembatani” kedua ide yang tampaknya saling bertentangan tersebut.

Pendapat yang sungguh menarik ini diungkapkan oleh Adi W. Gunawan, The Re-Educator & Mind Navigator, dalam bukunya yang berjudul ”The Secret of Mindset”. Dalam buku tersebut diungkapkan cara mengubah belief lewat tindakan afirmasi dan visualisasi, yang akan berjalan dengan efektif apabila tindakan tersebut berhasil masuk ke dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind) untuk kemudian diterima, dimengerti, dan terintegrasi.

Salah satu teknik yang dahsyat untuk bisa menjangkau pikiran bawah sadar tersebut adalah Synergetic Approach, yang terdiri dari 6 komponen yang saling terkait, yaitu: percaya (belief), penguatan (positive reinforcement), bahasa simbolik (symbolic language), ideomotor response, tiga puluh menit yang ajaib (the magic 30 minutes), dan precognitive dream.

Komponen pertama yaitu ”percaya”, yang menitikberatkan pada rasa percaya bahwa kita bisa berubah, menjadi landasan bagi bekerjanya komponen berikutnya. Pikiran bawah sadar bekerja berdasarkan program yang spesifik dan akan selalu mencapai setiap tujuan yang telah diprogramkan ke dalamnya.

Komponen kedua adalah penguatan atau positive reinforcement. Penguatan ini harus dilakukan tiap hari, idealnya 21 kali berturut-turut dalam kondisi hipnosis. Jadi apabila dalam kondisi hipnosis saja butuh 21 kali penguatan atau repetisi, apabila penguatan dilakukan dalam kondisi sadar bisa membutuhkan ratusan kali lamanya.

Komponen ketiga yaitu bahasa simbolik. Maksudnya adalah saat melakukan afirmasi / visualisasi, hendaknya kita mempunyai simbol yang mewakili hal yang kita pikirkan sehingga mampu dicerna dengan lebih mudah oleh pikiran bawah sadar.

Komponen keempat adalah ideomotor response, dan yang digunakan dalam teknik ini adalah tulisan tangan tegak bersambung, bukan diketik dengan komputer. Ini karena saat kita menulis, informasi yang kita tuliskan menembus filter pikiran sadar dan langsung masuk ke pikiran bawah sadar. Pikiran sadar kita mungkin menolak informasi yang kita masukkan ke pikiran bawah sadar, namun penolakan ini dapat kita atasi dengan menggunakan tulisan tangan. Suka atau tidak suka, begitu kita tulis, informasi itu akan langsung masuk ke pikiran bawah sadar.

Komponen yang kelima yaitu 30 menit yang ajaib atau "the magic of 30 minutes". Seperti yang telah dibahas dalam komponen kedua, sebuah kondisi yang paling kondusif untuk memasukkan sugesti atau afirmasi adalah dalam kondisi hipnosis. Bagaimana jika kita tidak mendalami hipnosis? Ada satu momen yang bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk mencapai kondisi yang mirip dengan kondisi waktu hipnosis, yaitu waktu menjelang kita tidur. Tepatnya 30 menit sebelum kita tidur. Momen ini disebut ajaib karena merupakan celah sempit dalam koridor waktu sadar kita yang terjadi secara alamiah dan dapat dimanfaatkan untuk menembus pikiran bawah sadar dengan sangat mudah.

Komponen yang keenam yaitu precognitive dream, merupakan kelanjutan proses yang berkaitan erat dengan komponen kelima dimana terbentuk sebuah mimpi yang mampu diproses dan diintegrasikan ke dalam pikiran bawah sadar kita. Mimpi ini bisa dibentuk oleh informasi yang kita masukkan ke pikiran saat 30 menit yang ajaib. Syaratnya, kegiatan lain tidak boleh dilakukan setelah kita menuliskan afirmasi kita sebelum tidur.

Teknik Synergetic Approach ini dapat menjadi jawaban bagaimana cara kita menghindari kemungkinan adanya getaran buruk dari yang ditimbulkan oleh afirmasi yang kita lakukan, seperti yang dikuatirkan oleh Michael J. Losier. Jadi dengan adanya teknik ini tampaknya kita tidak perlu lagi memperlemah afirmasi yang kita lakukan dengan mengucapkan kalimat: ”Saya sedang dalam proses.....”, sehingga kita dapat leluasa melakukan afirmasi dengan berpura-pura seakan-akan pelaku sudah mendapatkannya tanpa harus mengkhawatirkan reaksi perlawanan dari pikiran bawah sadar.

Sebuah solusi cerdas yang diungkapkan kembali oleh seorang pakar hipnosis negeri kita sendiri!

Read More......

Don’t Create Too Much Reasons to Fail


"The optimist sees opportunity in every danger; the pessimist sees danger in every opportunity." (Winston Churchill)

Ada sebuah petuah berharga yang saya dapatkan saat pertama kalinya saya memulai karir dalam pekerjaan saya saat ini. Satu dari kumpulan petuah berjudul “10 Prinsip Hidup Orang Modern” yang tertulis dalam selembar kertas yang tertempel pada dinding kantor saya waktu itu, dan nampaknya diadaptasi dari filosofi Buddha. Satu petuah yang hingga saat ini menjadi salah satu pedoman saya dalam bekerja dan menjalani hidup yang penuh anugerah ini berbunyi: ”Jangan terlalu banyak alasan”.

Tampaknya sebuah petuah yang sederhana, dan lebih mirip suatu ungkapan kejengkelan seorang pemimpin (bos) kepada anak buahnya saat ia tidak puas dengan kinerja anak buah yang bersangkutan. Namun ungkapan yang sederhana inilah yang nyata-nyata dapat dengan mudah ter-install dalam benak pikir saya hingga saat ini.

Saat saya merasa akan gagal dalam pencapaian sesuatu, dan mungkin juga beberapa manusia pada umumnya, secara naluriah kita seringkali membuat alasan-alasan yang sering kita kondisikan untuk ”selayaknya dipahami oleh orang lain” tanpa sebelumnya merefleksi terlebih dahulu terhadap kualitas kinerja kita sendiri.

Kemungkinan-kemungkinan yang menjadi faktor kegagalan ini dapat dengan mudah kita kreasikan sendiri. Entah faktor usia, gender, latar belakang pendidikan, fasilitas, dan masih banyak lagi yang bisa saya sebutkan ”dengan semestinya” pada halaman ini, yang sebenarnya menjadi semacam afirmasi negatif ke dalam alam bawah sadar untuk mendemotivasi usaha kita.

Pernahkah Anda dengar cerita tentang kedua anak kembar dalam suatu keluarga tak mampu dan tidak bahagia? Nasib yang sama dialami oleh kedua anak tersebut ketika kecil, namun bertolak belakang dengan nasib keduanya saat mereka dewasa.

Anak pertama mengalami kesuksesan dalam usia dewasanya, namun anak kedua tidak mampu membawa taraf hidupnya menjadi lebih baik. Saat anak pertama ditanya apa yang menyebabkan dirinya sukses, ia menjawab, ”Saya menjadi seperti ini karena masa kecil saya. Saya bukan berasal dari keluarga mampu dan bahagia, sehingga saya berkeinginan keras untuk merubah nasib saya melalui kerja keras.”

Sebaliknya, saat anak kedua ditanya apa yang menyebabkan ia gagal dalam hidupnya, ia menjawab, ”Saya menjadi seperti ini karena masa kecil saya. Saya bukan berasal dari keluarga mampu dan bahagia, sehingga kehidupan tersebut menghancurkan mental saya, membuat saya tidak percaya diri, saya juga tidak mampu menuntut ilmu untuk memperdalam pengetahuan saya, dan parahnya pula saya tidak mempunyai modal untuk memulai sebuah usaha.”

Sebuah cerita lagi berasal dari negeri China saat seorang pembuat sandal pergi merantau ke negara barbar di mana ia mencoba menjajakan produksi alas kakinya. Belum beberapa lamanya ia merantau, ia kembali ke desanya dengan membawa seluruh barang dagangannya dengan putus asa. Ia berkata pada tetangga-tetangganya, ”Sial sekali diriku ini. Aku menjual alas kaki ke tempat yang salah di mana penduduknya sudah terbiasa untuk bertelanjang kaki. Akibatnya, sia-sialah sajalah perjalananku ke negeri barbar tersebut.”

Ada satu orang pembuat sandal lain dari desa itu yang kebetulan tidak mendengar cerita tersebut, dan ia mencoba untuk menjual alas kaki buatannya ke negeri barbar yang sama pula. Setelah beberapa lama kemudian, ia kembali ke desanya dengan membawa banyak perhiasan, ”Alangkah beruntungnya aku! Alas kakiku dapat dijual dengan mudah kepada mereka-mereka yang sebelumnya tidak pernah menggunakannya. Barang buatanku laku keras dan habis terjual.”

Sebenarnya banyak sekali cerita-cerita sejenis yang menunjukkan bahwa suatu kondisi yang sama dapat dimaknai berbeda oleh orang lain. Sama halnya seperti kita memaknai gelas yang setengah isi atau setengah kosong. Nampaknya ini bukan pembahasan baru, Pembaca, namun alangkah baiknya pula kita selalu ingat untuk merefleksikan kembali seberapa seringkah sebenarnya kita membuat alasan-alasan yang bisa dipersiapkan untuk ”membenarkan” kegagalan dan keputusasaan kita?

Terakhir, perkenankanlah saya menyadur sebagian isi dari buku ”The Science of Success” karangan James Arthur Ray (salah seorang guru ”The Secret”) yang sebenarnya telah menjelaskan tentang segala sesuatunya yang berkaitan dengan judul di atas dan dapat dipetik manfaatnya:


TIDAK ADA LAGI ALASAN, TIDAK ADA LAGI CERITA

Beberapa orang telah meyakinkan diri mereka sendiri bahwa hasil tidaklah perlu. Itu kedengarannya aneh, bukankah demikian? Kita semua mengetahui bahwa agar berhasil, hasil-hasil mutlak diperlukan.

Tetapi pikirkan tentang hal itu. Berapa banyak orang yang Anda kenal yang memiliki cerita bagus tentang mengapa mereka tidak memperoleh hasil. Sering kali cerita-cerita itu dimulai sejak sangat lama sekali:
• ”Saya tumbuh dewasa di lingkungan yang salah.”
• ”Saya tidak memperoleh kesempatan yang orang lain dapatkan.”
• ”Keluarga saya tidak seberuntung keluarga lain.”
• ”Saya tidak bersekolah yang tepat atau tidak memiliki gelar yang tepat.”

Kadang-kadang orang-orang ini nampaknya telah membodohi diri mereka sendiri dengan mempercayai bahwa tidak memperoleh hasil-hasil itu dapat diterima, selama mereka memiliki cerita yang baik untuk pembenaran kurangnya keberhasilan mereka. Persamaan yang tampaknya sering digunakan oleh orang-orang seperti ini adalah ini:
TIDAK ADA HASIL + CERITA = HASIL.
Ini secara mutlak tidak benar, dan ini adalah sikap yang sangat melemahkan! Beberapa cerita tampak seperti alasan yang sangat baik, tetapi cerita itu menjamin kegagalan. Selama orang-orang membuat alasan untuk kurangnya keberhasilan mereka, mereka kehilangan kekuatan untuk menciptakan keberhasilan.

Banyak cerita yang kita kisahkan secara mutlak benar. Faktanya akurat. Dan juga benar bahwa orang-orang dan keadaan di luar diri mereka mempengaruhi kita. Tetapi faktor-faktor tersebut tidak menentukan keberhasilan mereka. Faktor-faktor itu tidak memiliki kekuatan untuk menjauhkan kita dari nasib baik kita, kecuali kalau kita membiarkannya. Abraham Lincoln, Martin Luther King, dan Mahatma Gandhi tidak membiarkan masa lalu mereka yang sangat sederhana menjauhkan mereka dari impian mereka. Selama kita terus berfokus pada cerita-cerita kita, dan bukan pada hasil-hasil kita, kita menjauhkan diri kita sendiri dari mengubah atau mencapai sesuatu.

Perhatikan prinsip ini dalam hal hidup Anda sendiri. Pikirkan tentang satu bidang dalam hidup Anda di mana Anda sekarang berhasil. Itu mungkin dalam hubungan, keuangan, atau permainan tenis Anda. Anda mungkin memiliki fisik yang sangat bagus atau menjadi orangtua yang hebat. Sekarang, untuk memperhatikan lebih dekat pada sifat cerita dan betapa tidak relevannya cerita itu, buatlah cerita tentang mengapa Anda tidak berhasil di bidang itu, bidang dimana Anda jelas-jelas berhasil. Alasan selalu tersedia untuk mereka yang memilih beralasan ketimbang berhasil.

Para pemenang tidak mengisahkan cerita. Para pemenang menyingkirkan cerita-cerita mereka untuk memperoleh hasil. Bahkan ketika kemalangan menimpa, mereka tidak membiarkan diri mereka tenggelam dalam alasan.

Putuskan sekarang juga untuk berhenti menggunakan cerita-cerita bagus Anda sebagai alasan. Dengan berfokus pada cerita-cerita Anda, Anda hanya menciptakan cerita yang sama. Memikirkan tentang kekurangan dan batasan hanya menciptakan lebih banyak kekurangan dan batasan. Berfokuslah hanya pada visi Anda dan potensi Anda yang tidak terbatas. Satu-satunya cara untuk membangun hasil-hasil adalah berkonsentrasi secara konsisten pada apa yang Anda pilih, dengan mengesampingkan semua hal lain.

Read More......

Mirroring Solomon's Wisdom


"Like in the old poetry, wisdom may only come to few people who received a little gift" (Huang Qingrong – “Supreme Wisdom”)

Apabila seseorang bertanya kepada saya, "Apakah sebenarnya yang menjadi hakekat kepemimpinan tertinggi?"
Saya akan dengan lugas menjawabnya dengan satu kata: “kebijaksanaan”. Sebuah kata yang saya yakini merupakan sebuah faktor penentu yang mengangkat tingkat kepemimpinan dari yang berkategori ”memimpin secara benar” menjadi ”memimpin secara luar biasa”.

Tanpa kebijaksanaan, seorang pemimpin mungkin dapat memimpin secara benar dengan kebaikan hatinya, integritas, dan faktor-faktor kepemimpinan lainnya. Ia juga masih dimungkinkan memiliki pengikut-pengikut yang tetap hormat dan mengikutinya di saat ia tidak bertindak bijak. Namun kebijaksanaan menjadi kunci yang menjamin pemimpin menjadi sempurna: tidak akan salah dan menjamin tercapainya suatu tujuan bersama.

Gajahmada (... – 1364 M), seperti yang dituliskan Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama, diakui sebagai seorang pemimpin yang berani dan mempunyai integritas tinggi dalam visinya mempersatukan Nusantara. Namun karena ketidakbijaksanaannya, ia dinilai bertanggung jawab terhadap Perang Bubat yang terjadi antara Negara Majapahit dan Sunda. Ia bisa dikatakan tidak sempurna dalam pencapaian tujuannya, meskipun namanya tetap harum hingga sekarang.

Liu Bei (161-223 M), Kaisar Shu, salah satu dari penguasa 3 Kerajaan (Sanguo/Samkok) di daratan China waktu itu, dituturkan oleh Luo Guanzhong dalam roman ”Kisah Tiga Kerajaan” (Romance of the Three Kingdom / San Guo Yan Yi) sebagai pemimpin yang baik hati dan mencintai pengikutnya. Namun karena ketidakbijaksanaannya saat mementingkan kepentingan balas dendam pribadi atas kematian adik dan jenderal besarnya Guan Yu, ia gagal mempersatukan wilayah China meskipun pengikut-pengikutnya pun tetap setia kepadanya.

Yudistira, orang pertama dalam Pandawa Lima, dikisahkan dalam epos Mahabharata karangan Vyasa sebagai seorang yang tulus hati dan terbuka terhadap saudara-saudaranya. Namun karena ketidakbijaksanaannya dalam tindakannya bermain dadu melawan Kurawa, ia membawa saudara-saudaranya menderita dalam pengasingan selama 13 tahun lamanya.

Sementara kebijaksanaan menjadi idaman yang nampaknya tidak mudah untuk dimiliki bahkan oleh pemimpin besar sekalipun, tercatat pula seorang pemimpin yang diakui memiliki hakekat kepemimpinan tertinggi tersebut. Ia adalah Solomon, anak Daud dan menjadi raja ketiga Kerajaan Israel yang memerintah pada masa kurang lebih 971 – 931 SM. Saya sengaja menyebutnya bukan sebagai ”Salomo” ataupun ”Sulaiman” untuk menerobos batas penamaan dalam kitab suci Islam maupun Kristiani. Dan memang, kebijaksanaan Solomon diakui dan dicatat dalam Al-Quran maupun Alkitab Perjanjian Lama.

Dalam Al-Quran dikisahkan bahwa Solomon telah menunjukkan kecerdasan dan ketajaman pikirannya sejak usianya masih belum dewasa:

Kebijaksanaan Solomon dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang dilaluinya. Misalnya, saat ia mengetengahkan ide kepada ayahnya, Raja Daud untuk menyelesaikan perselisihan antara dua pihak, yaitu antara pemilik kebun dan pemilik kambing yang pada suatu saat merusak kebun tersebut. Mulanya Raja Daud memutuskan pemilik kambing supaya menyerahkan ternaknya kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi disebabkan ternaknya memasuki dan merusakkan kebun itu.

Solomon yang mendengar keputusan bapaknya menyelanya, “Ayah, menurut hemat saya, keputusan itu sepatutnya demikian: kepada pemilik kebun yang telah musnah tanamannya selayaknya diberi kambing tersebut untuk dipelihara, diambil hasilnya, dan dimanfaatkan bagi keperluannya. Sementara kebun yang rusak itu diserahkan kepada pemilik kambing untuk dijaga sehingga kembali kepada keadaan asal. Kemudian masing-masing menerima kembali miliknya, sehingga dengan cara demikian masing-masing pihak tidak ada yang mendapat keuntungan atau menderita kerugian lebih daripada sepatutnya.”

Pendapat yang dikemukakan Solomon disetujui kedua pihak. Malah khalayak ramai yang menyaksikan perbicaraan itu kagum dengan kebijaksanaannya dan hal tersebut tak lama kemudian tersebar luas. Akibat dari kebijaksanaannya pula, Solomon dipilih Daud untuk menggantikannya sebagai Raja Israel.

Dalam Alkitab Perjanjian Lama melalui Kitab Tawarikh dan Raja-raja juga menggambarkan Solomon sebagai raja mempunyai hikmat dan kebijaksanaan:

Kebijaksanaan Solomon digambarkan melalui kisah tentang dua orang perempuan yang memperebutkan seorang anak bayi dan keduanya sama-sama mengaku sebagai ibu sang bayi tersebut. Solomon meminta diambilkan sebilah pedang dan memutuskan bahwa supaya adil, bayi itu harus dibelah dua, dan masing-masing perempuan itu akan mendapatkan setengah. Ibu sejati sang bayi memohon kepada Solomon agar bayi itu dibiarkan hidup, bahkan ia merelakan bayinya diserahkan kepada perempuan yang satunya, sementara ia tidak mendapatkan bayinya. Dengan cara itu Solomon berhasil menemukan ibu sejati bayi tersebut.

Kedua kitab suci tersebut sepakat, bahwa kebijaksanaan Solomon tersebut merupakan anugerah yang diberikan secara istimewa dari Tuhan yang Maha Kuasa. Lantas, apakah sebenarnya pemimpin-pemimpin yang lain ataupun Anda sendiri, Pembaca, tidak mendapatkan anugerah yang sama?

Wallace D. Wattles (1860-1911) dalam bukunya yang berjudul ”The Science of Being Great” (Ilmu Menjadi Agung) mengungkapkan bahwa sebenarnya manusia menerima anugerah yang sama dari Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kebijaksanaan. Hanya rupa-rupanya, meskipun kebijaksanaan tersebut telah dianugerahkan, bagaimanapun juga manusia harus tetap mengusahakannya untuk timbul dalam dirinya sendiri.

Bagaimana caranya? Secara ringkas dalam buku tersebut dikatakan bahwa kebijaksanaan didapatkan dengan membaca pikiran Tuhan, yang dirumuskan melalui langkah-langkah di bawah ini:

Tahap pertama adalah merubah sudut pandang, baik sudut pandang sosial maupun perorangan. Maksudnya adalah Anda haruslah mempunyai sudut pandang baru yang meyakini bahwa dunia dan semua yang dikandungnya adalah sempurna, meskipun belum selesai. Semua ciptaan Tuhan ini, termasuk kita sendiri dan juga manusia-manusia lainnya, adalah baik adanya.

Tahap kedua adalah konsekrasi, yaitu ketaatan kepada jiwa. Ini berarti hendaklah kita membawa tubuh fisik kita sendiri untuk mematuhi akal yang dikuasai oleh jiwa dan dianugerahkan Tuhan. Bukan sebaliknya dimana kita seringkali berada pada kondisi dimana hawa nafsu fisik mengalahkan akal sehat kita.

Tahap ketiga adalah identifikasi, yaitu menyadari bahwa kebijaksanaan yang disebut sebagai Prinsip Kekuatan adalah eksistensi dari Tuhan sendiri. Tidak bisa ada satu jenis kecerdasan dalam Tuhan dan jenis kecerdasan lain dalam manusia; kecerdasan hanya bisa ada di dalam zat yang cerdas, dan Zat Cerdas tersebut adalah Tuhan.

Tahap keempat adalah idealisasi, yaitu menggambarkan dengan jelas suatu hasrat yang kita inginkan dan menahannya dalam benak sampai ia menjadi bentuk-pikiran yang pasti. Ini berarti hendaklah kita membuat betuk-pikiran akan diri yang kuat, sehat, dan sejahtera serta tidak membiarkan orang lain memutuskan (menghakimi) akan menjadi seperti apa diri kita.

Tahap terakhir adalah realisasi, yaitu melakukan tindakan nyata di saat kini dan mewujudkan bentuk pikiran ke dalam bentuk material. Maksudnya secara ringkas adalah melakukan apa yang dapat kita lakukan sekarang ini saat kita merasa di dalam lubuk sanubari kita bahwa tindakan tertentu yang kita lakukan adalah benar. Berarti selayaknya kita tidak pernah meragukan diri kita sendiri, dan menjalani segala sesuatunya dengan dibimbing secara mutlak oleh terang di batin diri yaitu persepsi kebenaran di dalam segala hal.

Sebuah pedoman menarik yang layak untuk ditelaah dan dipelajari, Pembaca. Apabila benar adanya, bukan tidak mungkin akan timbul lagi pemimpin-pemimpin dengan anugerah kebijaksanaan yang luar biasa dan sempurna. Sebuah persembahan istimewa dari Wattles selain ”The Science of Getting Rich”.

Read More......

Re-thinking about “Ora et Labora”


"God Almighty knows previously what you'll choose with your free desire" (St. August)

Semboyan Latin “Ora et Labora”, yang bermakna “Berdoa dan Bekerja”, telah menjadi panduan umum yang telah dikenal banyak orang, dan telah saya kenal sendiri sejak saya masih menginjak bangku pendidikan Sekolah Dasar. Maknanya lugas, melakukan suatu perkerjaan (mencapaian tujuan) yang diimbangi oleh “Tindakan” (Action) dan juga menggantungkan pencapaian harapannya kepada Tuhan sebagai penentu Yang Maha Kuasa.

Semboyan ini sebenarnya mempunyai adaptasinya pula dalam Bahasa Indonesia: “Manusia berusaha, Tuhan menentukan”. Sebuah susunan kalimat utuh yang menjadi syarat mutlak keberhasilan suatu tujuan. Saya mengatakannya sebagai suatu susunan kalimat utuh karena tidak seharusnyalah orang hanya memfokuskan diri kepada petikan kalimat kedua: ”Tuhan menentukan” dan mengabaikan hakikat keharusan manusia untuk berusaha (Action).

Hal serupa yang terjadi pula ketika film dokumenter dan buku ”The Secret” dikritisi sebagian pengamat hanya menekankan pada segi ”Believe” (Percaya) yang dapat dimaknai pula sebagai tindakan ”Ora” (Berdoa), dan keharusan suatu usaha (Action) hanya diutarakan secara tersirat dan terkesan bukan sebagai bagian pokok dalam pencapaian tujuan. (Pendapat pribadi saya mengenai ini telah saya utarakan pula dalam tulisan ”Behind ’The Secret’” pada blog ini pula).

Singkatnya, saya tetap mengapresiasi kekuatan doa dan usaha manusia sebagai kunci sukses suatu tujuan tanpa harus mendiskreditkan ”The Secret”. Dan keduanya sudah selayaknya mendapatkan porsi yang seimbang; dimana kita terus memberikan harapan dan berseru kepada Pencipta sebagai penentu hasil akhir, sementara pula kita harus tetap fokus dan berusaha untuk mengupayakannya pula.

Sebuah inspirasi baru tiba-tiba muncul setelah saya membaca petikan buku yang ditulis salah seorang tokoh yang tidak pernah saya kagumi (dan sampai saat ini pula saya katakan ”belum”). Buku tersebut berjudul ”Ganti Hati” karangan Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group yang membawahi surat kabar nasional ”Jawa Pos” dan jaringan-jaringan media lain dalam grupnya. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan berserinya saat menjalani transpantasi liver bulan Agustus 2007 dengan judul ”Dahlan Iskan, Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver”. Tulisan ini dimuat dalam jaringan medianya di bawah Jawa Pos News Network (JPNN) termasuk harian ”Jawa Pos” sendiri secara nonstop 33 hari! Sebuah tindakan kontroversial yang mengundang tanya dan kesan berlebihan (termasuk oleh saya pribadi), di balik kekaguman dan simpati pula yang timbul dari pembaca-pembacanya.

Terlepas dari hal tersebut, sebuah filosofi menarik patut saya apresiasi dan menjadi manfaat baru bagi saya pribadi, saat ia melontarkan pemikirannya tentang kecenderungan manusia untuk meminta apa saja kepada Tuhan sehingga terkesan malas berusaha. Padahal, Tuhan telah mengaruniakan otak (saya pribadi lebih suka menyebutnya sebagai ”akal budi”) kepada manusia untuk mampu mengatasi masalah-masalahnya sediri.

Sungguh sebuah filosofi berharga yang menempatkan Tuhan dan manusia pada posisi dan ”kewajiban” semestinya, dan sejalan pula dengan pendapat filsuf dan teolog Katholik legendaris, St. Agustinus, yang menyatakan kehendak manusia secara bebas dalam suatu tindakan yang juga telah diketahui Penciptanya terlebih dahulu.

Lantas, apakah arti ”doa” ataupun ”meminta” (Ask) menjadi kecil maknanya dengan pemikiran tersebut? Justru tidak, namun sebuah definisi baru tentang ”doa” perlu ditetapkan dan dipahami lagi lebih lanjut. ”Doa” yang seharusnya bukanlah doa yang semata-mata bermakna ”permintaan” semata, melainkan sebuah ibadah utuh yang disebut pula sebagai doa itu sendiri dalam agama Kristen, ataupun dimaknai ”zikir” dalam agama Islam.

Karena menurut Dahlan, ”berdoa” dalam arti meminta pada dasarnya serupa pula dengan maknanya sebagai ”memerintah Tuhan”. (Dikatakan Dahlan sebagai kajian Ilmu Mantiq (logika) sewaktu dirinya belajar di Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan, yang juga merupakan pesantren keluarganya sendiri). Simak pendapatnya dalam sebuah tulisannya pada bab 11: ”Kalau tidak percaya, perhatikan kata kerja di setiap doa. Pasti menggunakan bentuk kata perintah. Dalam bahasa Arab disebut ”isim amar” atau bentuk kata perintah. ”Masukkanlah ke surga”, ”berikanlah panjang umur”, ”jauhkan dari neraka”, dan seterusnya.”

Entah disadari Dahlan ataupun tidak, gagasan ini sebenarnya mendukung pula kaidah ”The Secret” bahwa manusia mampu mendapatkan apa yang diinginkannya dengan memikirkannya (menggunakan otak / akal budi), sehingga dapat menengahi perdebatan apakah gagasan ”The Secret” tersebut mengecilkan makna Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan hasil akhir tujuan.

Doa dengan makna ”zikir” (mengingat Tuhan) itulah yang seharusnya lebih diutamakan manusia. Selagi berusaha untuk mencapai tujuannya dengan tindakan (Action) dan bukan pasrah apa adanya; selayaknyalah pula manusia tetap mengingat Tuhan, memuji kebesarannya, dan lebih penting lagi bersyukur kepada Penciptanya dalam arti seluas-luasnya.

Bersyukur dalam arti seluas-luasnya inilah yang menurut pendapat saya mutlak terdiri dari tiga hal: Pertama adalah bersyukur dan memaknai dengan bahagia atas apa yang dialaminya saat ini, bukannya berkeluh kesah dan merasa tidak puas atas penderitaan ataupun apa yang belum dicapainya. Kedua adalah bersyukur atas akal budi sebagai karunia terbesar kepada manusia dalam pencapaian tujuannya. Akal budi yang bahkan telah dibentuk dan dikembangkan sebelum manusia menciptakan tujuan-tujuannya. Dan ketiga adalah bersyukur atas kehendak Yang Maha Kuasa, yang Maha Berkehendak dan telah mengetahui hasil akhir dari ”kehendak bebas” yang dikaruniakan kepada manusia-Nya berupa akal budi tersebut.

Memang demikianlah pembaca, apapun kepercayaan yang mendasari Anda, saya rasa definisi "doa" yang demikian akan menjadikan diri Anda lebih mudah mendekatkan diri kepada-Nya dan mencapai tujuan-tujuan Anda yang selaras dengan kehendak-Nya pula.

Last but not least, honestly I must say a great thanks to Mr. Yu Se Kan (Dahlan Iskan) about this philosophy that inspires me and a lot of people to “re-thinking about ‘Ora et Labora’”.

Read More......

A Real Superman from Planet Earth


“You don’t have to be a superman to be great” (Billi P. S. Lim – “Dare to Fail”)

Kalimat di atas merupakan apresiasi dari Billi P. S. Lim, seorang motivator dari negeri jiran Malaysia, dalam bukunya yang berjudul ”Dare to Fail” (“Berani Gagal”) dan ditujukan kepada Christopher Reeve. Aktor yang pernah memerankan tokoh film sekuel superhero “Superman” tahun 1978 – 1987 ini menjadi satu dari sekian banyak tokoh yang dikategorikan sebagai orang-orang luar biasa yang berani menghadapi kegagalan dan tantangan hidup tanpa mengenal kata putus asa ataupun menyerah dalam buku tersebut.

Setiap masa sekarang ini dimana tiap tahunnya diputar film-film bioskop yang bertemakan superhero yang diadaptasi dari tokoh-tokoh fiksi komik terbitan DC Comics maupun Marvel di Amerika Serikat, pikiran saya sejenak selalu saja teringat pada kenangan masa kecil saya saat menonton film superhero pertama yang saya saksikan waktu itu, yaitu film ”Superman”, yang menceritakan jagoan bumi paling tangguh yang berasal dari planet Krypton dan dibintangi oleh Christopher Reeve.

Nyata-nyatanya ternyata kisah hidup aktor yang juga sekaligus berprofesi sebagai sutradara, produser film, dan penulis skenario ini dalam dunia nyata lebih fenomenal dan menimbulkan kekaguman dalam pikiran saya dibanding aksi tokoh yang dibintanginya, Superman. Hal ini juga diakui oleh khalayak ramai dan sebagian besar fans tokoh Superman di seluruh dunia. Serial televisi ”Smallville” yang mengadaptasi penokohan Superman dari latar yang berbeda (baru-baru ini mulai diputar pula di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia) pun memberikan apresiasi kepada Christopher Reeve, dengan memberikannya posisi untuk membintangi karakter yang khusus didedikasikan untuknya, yaitu salah satu profesor pembimbing Clark Kent (calon Superman) dalam salah satu episodenya dan juga sebuah pesan dukacita pula saat sang aktor Christopher Reeve meninggal dunia.

Mengapa Christopher Reeve begitu fenomenal? Bagi saya, dan juga bagi masyarakat banyak, aktor ini telah benar-benar terbukti tangguh saat menjalani hidupnya di dunia nyata. Reeve, yang dilahirkan tanggal 25 September 1952 ini sempat mengalami puncak kejayaan saat membintangi film ”Superman” yang ditayangkan hingga 4 sekuel dalam periode tahun 1978 – 1987.

Setelah masyarakat pecinta film ”Superman” mengalami kejenuhan pasca sekuelnya yang ke-4, Reeve tetap menancapkan eksistensinya di dunia perfilman dan juga kampanye penyelamatan 77 orang pemeran Chili, sutradara, dan dramawan yang menerima vonis hukuman mati dari dikatator Augusto Pinochet akibat karya-karya berisi kritik terhadap rezim Pinochet tahun 1987. Setelah mendapat liputan luas dari media massa, hukuman mati dibatalkan oleh Pinochet, dan Reeve mendapat tiga penghargaan nasional dari Chili.

Reeve tetap membintangi sejumlah film, sampai akhirnya pada bulan Mei tahun 1995 saat usianya 43 tahun, ia mengalami musibah yang merubah nasib hidupnya. Ia terjatuh dari kuda saat mengikuti perlombaan olahraga berkuda lintas alam. Akibat kecelakaan itu ia mengalami kelumpuhan total dan sisa hidupnya dihabiskan di atas kursi roda.

Musibah tersebut berakibat hancurnya karir Reeve dalam dunia perfilman, namun tidak demikian dengan semangat hidupnya. Justru saat itulah ketangguhan mental Reeve diuji dan dibuktikan, bahwa ia mempunyai motivasi hidup yang tinggi, sekuat tokoh ”Superman” yang dibintanginya. Prestasi Reeve sebagai superhero yang sesungguhnya saat itu dimulai; bukan sebagai ”Superman dari Planet Krypton” yang membantu manusia lewat kedahsyatan fisiknya, akan tetapi ”Superman dari Planet Bumi” yang menjadi teladan yang memotivasi lewat kekuatan mentalnya yang luar biasa.

Meskipun ia mengalami cacat tubuh yang oleh sebagian orang mengatakannya sebagai ”siksaan”, Reeve tetap termotivasi untuk menjalani hidup ini dengan bahagia dan mempunyai tujuan baru, yaitu untuk dapat berkontribusi bagi orang lain dan bagi dunia ini dengan segenap daya kemampuan di sisa hidupnya . Ia aktif sebagai juru bicara penderita cedera tulang belakang dan penelitian sel induk, mendirikan Yayasan Christopher Reeve dan Pusat Penelitian Reeve-Irvine, serta menjadi motivator hidup ke berbagai tempat.

Kondisi tubuhnya setelah itu boleh dibilang tidak pernah mengalami peningkatan dan cenderung memburuk, hingga akhirnya ia meninggal dunia tanggal 10 Oktober 2004 di usia 52 tahun akibat serangan jantung yang disebabkan infeksi yang meluas. Sebenarnya beberapa tahun sebelum kematiannya Reeve masih mempunyai impian dan keyakinan untuk sembuh dan mampu berdiri dari kursi rodanya, yang ia tetapkan sebelum usianya mencapai 50 tahun. Sedikit disayangkan memang, keinginannya tersebut tidak terwujud. Bagaimanapun juga ia tetap berkomentar positif mengenai ini saat usia 50 tahun tersebut telah ditempuh, ia masih tetap berkeyakinan ia akan sembuh suatu saat nanti. "So many of our dreams at first seem impossible. Then they seem improbable. And then when we summon the will, they soon became inevitable," menjadi kata-kata favorit yang memotivasi dirinya sendiri dan orang lain pula.

Memang sempat menjadi sedikit pertanyaan dari saya pribadi, apakah Reeve gagal menerapkan Law of Attraction (Hukum Tarik-menarik) ataukah memang hukum itu sendirikah yang gagal? (Hukum Tarik-menarik ini sendiri pernah saya bahas dalam tulisan saya sebelumnya, "Behind 'The Secret'"). Ada beberapa kemungkinan yang hadir dalam pemikiran saya saat ini yang hanya masih merupakan pertimbangan tanpa dasar dan fakta (yang saya rasa bukan dalam kompetensi saya untuk dijelaskan dalam tulisan ini), namun hal inipun seharusnya tidak mengurangi kebesaran prestasi Reeve dalam menjalani hidupnya.

Saya yakin Reeve tetap menjalani hari-harinya dengan perasaan bahagia secara tulus saat itu, karena bagaimanapun juga Reeve telah berkontribusi lebih bagi dunia ini, sesuai dengan tujuan hidupnya pula saat itu. Sesungguhnya ia tidak pernah kalah ataupun gagal, meskipun dengan kematiannya sekalipun. Ketangguhannya menjalani hidup dengan keterbatasan cacat tubuhnya serta semangat yang luar biasa dalam berkontribusi bagi sesamanya benar-benar telah menjadi teladan yang membangun inspirasi banyak orang. Saat mengalami musibah dan tubuhnya tak mampu ditegakkan, ia tetap mampu untuk menegakkan semangat hidupnya. He deserve to be a real superman; not because of his superpower, but his superspirit.

Reeve telah menginspirasi banyak orang karena ini, termasuk saya sendiri. Bukankah seharusnya seperti ”Superman dari Planet Bumi” inilah kita selayaknya memandang dan menjalani hidup kita, pembaca? Reeve telah membuktikan, sesungguhnya tidak ada sesuatu hal pun yang mampu menghalangi kita menikmati anugerah kebahagiaan dan berkontribusi dalam hidup ini.

Catatan: sebuah image ukuran postcard yang bertemakan Superman dengan kata-kata motivasi Christopher Reeve, dapat Anda temukan dalam alamat website: http://img65.imageshack.us/img65/7276/supermanreevequote2fl7.png dan http://homepage.mac.com/johnhood/Pictures/Misc/dreams.jpg

Read More......

Leadership Philosophy from Our Own Country


When starting to learn about leadership, Indonesian people may not search for any theories far away from their own country; because there is a precious philosophy created by one of Indonesian great people themselves named Ki Hajar Dewantara.

Ya, filosofi berharga milik bangsa sendiri ini dijabarkan dalam 3 kalimat bahasa Jawa: ”Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Hingga sekarang, filosofi ini sebenarnya dikenal baik oleh bangsa ini dan telah diajarkan dan dihafal dalam bangku pendidikan Sekolah Dasar (terutama karena semboyan yang terdapat dalam lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia adalah kalimat terakhir dari filosofi tersebut).

Filosofi ini sebenarnya dituangkan Ki Hajar Dewantara, yang kini digelari Bapak Pendidikan Indonesia, untuk ditujukan kepada para pengajar/guru dalam kaitannya saat yang bersangkutan mendirikan Taman Siswa sebagai tempat belajar bagi para pribumi dalam masa penjajahan Belanda. Namun filosofi ini ternyata sangat tepat pula untuk ditempatkan dalam falsafah kepemimpinan, karena sejatinya seorang pemimpin yang melayani bersesuaian dengan figur seorang guru yang mendidik murid-muridnya.

Mungkin bangsa ini terlupa, saat mereka banyak terkesima oleh falsafah-falsafah kepemimpinan dari seberang negeri lain seperti George Washington, Machiavelli, Sun Tzu, dan lain sebagainya; sebenarnya terdapat pula suatu filosofi yang telah merangkum seluruh teori kepemimpinan dari buku setebal apapun di dunia ini yang notabene adalah milik bangsa ini sendiri.

Bagi saya pribadi, filosofi ini benar-benar luar biasa. Tidak ada maksud bagi saya untuk melebih-lebihkan ataupun menjadi chauvimist, namun seseorang yang belajar atau mulai memimpin cukup meresapi ketiga kalimat ini untuk dapat memimpin dengan baik dan sempurna. Oleh karenanya pembaca, dalam tujuan untuk menarik manfaat dari warisan besar bangsa ini, saya mencoba mengupas satu persatu dari ketiga kalimat tersebut:

Kalimat pertama, ”Ing Ngarsa Sung Tuladha” mempunyai makna harafiah: ”posisi di depan dalam rangka memberikan teladan”. Secara jelas maksud dari kalimat ini adalah sebuah posisi yang selayaknya diambil pemimpin, ia haruslah berdiri di depan: sebagai pioneer, teladan, decision maker, dan pembimbing.

Inilah langkah awal seorang pemimpin; mengambil posisi berdiri di depan, yang membedakannya dari rekan-rekan lain yang dipimpin. Dalam beberapa kondisi, posisi di depan dapat dianalogikan dengan predikat jabatan yang lebih tinggi, seorang atasan, ataupun orang yang ”dituakan”. Dalam hal ini pemimpin haruslah mampu membawa yang dipimpinnya untuk mencapai visi kelompok dengan memberikan keteladanan, sikap berani dan rela berkorban, dan bertanggung jawab penuh terhadap arah tujuan kelompoknya.

Menempatkan posisi di depan erat kaitannya dengan amanat dan kepercayaan bagi yang dipimpin, sehingga merupakan hal yang tabu bagi pemimpin apabila ia menempatkan posisinya di depan hanya semata-mata memberikan perintah tanpa teladan dan tanggung jawab, mencari prestasi pribadi, ataupun memanfaatkan kekuasaannya demi tujuan yang tidak berhubungan sama sekali dengan visi kelompok.

Kalimat kedua, ”Ing Madya Mangun Karsa” bermakna harafiah: ”posisi di tengah dalam tujuan menggugah kemauan”. Seorang pemimpin dalam kalimat ini dideskripsikan lebih lanjut untuk mampu mengambil posisi di tengah-tengah orang yang dipimpinnya pula untuk mengayomi, menjalin kebersamaan, dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan.

Setelah pemimpin mampu menempatkan posisinya secara benar di depan, tiba saatnya bagi pemimpin untuk menempatkan diri di tengah-tengah orang yang dipimpinnya untuk bersama-sama meraih visi kelompok. Dalam hal ini pemimpin harus mau berinteraksi dengan orang yang dipimpinnya dengan keterbukaan, mau menerima masukan dan kritik, sanggup memberikan gagasan dan inspirasi bagi yang dipimpinnya, serta dapat merangkul mereka semua dan menggugah semangat untuk meraih tujuan demi kepentingan bersama.

Patut diperhatikan, sebuah pemberian motivasi berjalan paling efektif apabila pemimpin meletakkan posisinya di tengah-tengah mereka, bukan di depan maupun di belakang. Hal ini bersesuaian dengan kaidah ilmu psikologi Neuro Linguistic Programming / NLP (ilmu memasukkan kata-kata ke dalam pikiran) dan hypnosis, dimana kondisi ideal saat objek penerima dapat menerima baik apa yang dikatakan subjek pelaku adalah saat subjek pelaku mengatur kesesuaian (menyamakan) dirinya dengan objek penerima.

Dalam kaitannya sebagai motivator, pemimpin harus mampu untuk menunjukkan semangat dan kegigihannya untuk mencapai tujuan, sikap optimisme, dan pantang berkeluh kesah. Adalah hal yang tabu bagi pemimpin untuk menunjukkan rasa lelah, putus asa, dan tidak fokus terhadap visi kelompok dalam hal ini.

Namun perlu digarisbawahi pula, menempatkan diri di tengah bukan berarti menanggalkan posisinya sebagai pemimpin. Saat pemimpin menempatkan dirinya di tengah, ia tetaplah seorang pemimpin. Dalam kondisi ini, seorang pemimpin haruslah secara taktis membina kendali kesadaran baik kepada dirinya sendiri maupun kelompok yang dipimpinnya atas eksistensi kepemimpinannya.

Kalimat ketiga, adalah ”Tut Wuri Handayani”, yang bermakna harafiah: ”posisi di belakang untuk memberikan dorongan”. Dalam hal ini, pemimpin diamanatkan untuk mampu mendorong orang yang dipimpinnya agar dapat mencapai kemajuan dan berprestasi pula demi kebaikan orang yang dipimpinnya tersebut.

Inilah tugas mulia terakhir bagi sang pemimpin setelah ia mampu menempatkan posisi di depan maupun di tengah. Pemimpin harus pula mengambil posisi di belakang; bukan dalam kerangka ia lari dari tanggung jawab, tapi untuk menempatkan individu-individu dalam kelompok yang dipimpinnya berada di depan untuk memperoleh kemajuan dan prestasi.

Dalam kaitannya dengan kewajiban ini, pemimpin haruslah mampu mendidik dan mengembangkan orang-orang yang dipimpinnya agar terbentuk pula pemimpin-pemimpin baru sehingga tercipta proses regenerasi, atau setidak-tidaknya orang-orang yang dipimpinnya tersebut memperoleh manfaat pula dari kepemimpinan sang pemimpin.

Demikian pula saat pencapaian visi kelompok, pemimpin haruslah menghindarkan sikap superiornya dan mengedepankan orang-orang yang dipimpinnya sebagai penentu keberhasilan. Sehingga sebuah reputasi dan prestasi tidak hanya dikuasai oleh pemimpin saja, tapi seorang pemimpin yang ideal bahkan mau dan mampu mengedepankan orang-orang yang dipimpinnya untuk meraih hal tersebut terlebih dahulu.

Memahami dan menempatkan diri secara benar ketiga posisi di depan, tengah, dan belakang adalah kunci keberhasilan seorang pemimpin; dan ketiga hal tersebut mutlak diperlukan. Pemimpin tidak akan dinyatakan berhasil dalam memimpin apabila ia tidak mampu memahami dan menjalankan bahkan satu saja dari penempatan ketiga posisi tersebut. Dan kesalahan dalam menempatkan posisi tersebut secara benar akan membawa kehancuran kepemimpinan.

Pembaca, benar-benar sebuah filosofi kepemimpinan yang sempurna, bukan? Sekali lagi, ”Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” telah menjadi prinsip dasar kepemimpinan yang bahkan mencakup teori leadership di berbagai buku yang setebal apapun, dan dari belahan dunia manapun.

Read More......

Behind "The Secret"


The Secret gives all the things you want: wealth, health, and happiness.” (Bob Proctor)

Petikan di atas merupakan kalimat pembuka pada bab pertama buku ”The Secret” gubahan Rhonda Byrne, yang mendokumentasikan pendapat para ahli dan profesional dalam bidang-bidang fisika kuantum, psikologi, metafisika, pelatihan (coaching), teologi, filosofi, keuangan, fengshui, kedokteran, serta pengembangan diri mengenai rahasia (secret) terbesar di dunia: Hukum Tarik-menarik (The Law of Attraction).

Dalam kurun waktu 1 tahun ini ”The Secret”, yang digubah dalam sebuah film dokumenter dan buku, telah menarik banyak perhatian dan diperbincangkan, terutama dalam pelatihan dan seminar-seminar motivasi. Dimana prinsip "Hukum Tarik-menarik" membuat perasaan dan pikiran seseorang menjadi nyata dalam kehidupan mereka; Semesta (The Universe) bekerja di antara manusia dalam hubungan fisik, emosi, dan pekerjaan sehari-hari.

Sebenarnya apa yang menjadi dipaparkan dalam film dokumenter dan buku tersebut mengenai Hukum Tarik-menarik bukanlah menjadi hal yang sama sekali baru, namun dengan pemaparan metafora dan cukup provokatif telah membuat ”The Secret” menjadi tema lama dalam kemasan baru yang sangat efektif digunakan dalam membangun pengembangan diri dan motivasi. Berdasarkan pengalaman saya pribadi, sebenarnya memang seperti inilah pengembangan diri dan motivasi dibentuk; sebuah perulang-ulangan konteks yang sebenarnya hanya itu-itu saja (setidak-tidaknya lebih dari satu orang mengatakan hal ini kepada saya), namun ironisnya pula tetap dibutuhkan manusia secara berulang-ulang, sehingga sebuah kemasan baru mempunyai efektivitas yang tinggi dalam memaparkan sebuah wacana lama yang tidak kadaluarsa.

Dalam narasi awal film dokumenter tersebut dan dalam bab pendahuluan pada bukunya, secara terbuka Rhonda Byrne mengakui hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru, namun merupakan ”rahasia masa lampau yang disembunyikan oleh orang-orang besar yang berhasil setelah mempraktekannya”. Ia terinspirasi pada tenggat waktu satu tahun sebelum film dokumenter itu dibuat, dimana ia mengalami depresi besar saat ayahnya meninggal, hubungannya dengan orang-orang lain berantakan, dan ia kewalahan dalam kerjanya. Saat itu ia menerima sebuah buku yang dihadiahkan oleh salah seorang putrinya, buku berusia seratus tahun yang memuat kilasan sebuah Rahasia Besar-Rahasia Kehidupan. Meskipun ia tidak menjelaskan buku apa yang dimaksud, kemungkinan buku tersebut adalah "The Science of Getting Rich" (Ilmu untuk Menjadi Kaya) karangan Wallace D. Wattles tahun 1910 atau Master Key System (Sistem Kunci Utama) karangan Charles F. Haanel tahun 1912. (E-book kedua buku tersebut dapat di-download pada website resmi “The Secret”: www.thesecret.tv).

Law of Attraction (LoA) telah menjadi pembahasan yang telah lama diungkap, dimana sebab akibat dari hukum tarik-menarik dapat dijelaskan menurut logika fisika kuantum. Sebelum ”The Secret” diluncurkan, tahun 2006 di Indonesia telah tercetus prinsip “Mestakung” (Semesta Mendukung) oleh Prof. Yohanes Surya, Ph.D dalam bukunya “Mestakung – Rahasia Sukses Juara Dunia Olimpiade Fisika” yang mempunyai gagasan serupa dan dialaminya sendiri saat membawa tim Indonesia menjadi juara dunia Olimpiade Fisika Internasional di Singapura tahun 2006.

Menurut “The Secret”, segala sesuatunya adalah energi, termasuk manusia sebagai makhluk spiritual. Lebih lanjut lagi, manusia sebagai salah satu bentuk energi mempunyai daya magnetis untuk menarik energi lain secara elektris dan membawa diri sendiri ke energi lain tersebut secara elektris pula. Melalui prinsip tersebut, maka manusia sebenarnya mampu mencapai apa saja yang ia inginkan dan menciptakan masa depannya sendiri hanya dengan memikirkannya terlebih dahulu melalui 3 langkah sederhana sebagai berikut:

Pertama, adalah “Meminta” (“Ask”). Secara metaforis hal ini disebut sebagai meminta apa yang diinginkan kepada semesta dan dilakukan dengan mengetahui secara detil apa yang diinginkan serta memvisualisasikannya ke dalam pikiran.

Kedua, adalah ”Percaya” (”Believe”). Langkah ini dilakukan dengan melibatkan tindakan, pembicaraan, dan pemikiran seakan-akan manusia sudah menerima apa yang ia minta. Bahkan untuk memulainya, manusia haruslah berpura-pura sebagaimana ia sudah mendapatkannya.

Ketiga adalah ”Menerima” (”Receive”). Langkah ini melibatkan perasaan seperti yang dirasakan saat keinginan tersebut telah terwujud, yaitu rasa syukur dan bahagia karena sedang menerima apa yang diharapkannya.

Lebih lanjut lagi, ”The Secret” menjabarkan dalam proses pengharapan, manusia tidaklah perlu menemukan dan memikirkan bagaimana caranya itu akan dapat terwujud namun menyerahkannya saja pada Semesta (Universe).

Seperti yang telah saya ungkapkan di atas, terlepas dari hal yang mana sebenarnya ide ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru, menurut hemat saya ”The Secret” sangat memberikan kontribusi positif dalam pembentukan diri dan pengembangan motivasi yang mengarahkan manusia untuk tidak pernah berpikir untuk berputus asa dalam menjalani hidup ini. Namun seperti layaknya sebuah ide, pemahaman tentang apa yang termuat dalam ”The Secret” sangat rentan sekali untuk disalahtafsirkan (bahkan sebuah kitab suci pun pula dapat menimbulkan tafsiran yang salah bagi sebagian orang). Penjabaran ”The Secret” yang metaforis dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda (kalau saya tidak boleh menyebutnya dengan istilah ”keliru”). Berikut beberapa catatan dan opini pribadi saya sehubungan dengan itu:

Pertama, kegiatan visualisasi diri yang dianjurkan ”The Secret” dalam langkah pertama yaitu ”Meminta” (”Ask”) sama seperti arah motivasi manusia dalam kajian ilmu Neuro Linguistic Programming / NLP (ilmu untuk memasukkan kata-kata ke dalam pikiran manusia) yaitu ”gaining pleasure” (mencari kesenangan). Namun masih terdapat satu hal lagi arah motivasi manusia yang tidak diungkap, yaitu ”avoiding pain” (menghindari kesengsaraan).

Bagi beberapa kalangan, hal ini mungkin membingungkan saat ”The Secret” menyatakan bahwa Hukum Tarik-menarik tidak memperhitungkan kata ”jangan” atau ”tidak” atau ”bukan”, sehingga ketika manusia mengatakan kata-kata penolakan, kata-kata inilah yang diterima oleh Hukum Tarik-menarik.

Pendapat tersebut sesungguhnya benar adanya, dan diyakini pula dalam NLP yang mana memahami bahwa pikiran bawah sadar manusia tidak mampu memfilter kata ”jangan”, ”tidak”, ataupun ”bukan”. Namun dalam pembangunan motivasi manusia, kegiatan ”avoiding pain” merupakan arah tindakan yang tetap berguna, bahkan bagi sebagian orang lebih efektif untuk dilakukan.

Lalu bagaimanakah yang terjadi saat dalam seminar dan pelatihan motivasi, sering dilakukan kegiatan meditasi atau hipnoterapi yang juga menitikberatkan kegiatan ”avoiding pain”? Sebenarnya tidak ada yang salah ataupun bertentangan dalam hal ini, dengan catatan ”avoiding pain” dilakukan terlebih dahulu pada sesi awal kegiatan meditasi atau hipnoterapi tersebut, baru sesudahnya penitikberatan pikiran dialihkan ke kegiatan ”gaining pleasure”. Sehingga tindakan ”avoiding pain” tidak mengendap dalam pikiran bawah sadar manusia dan segera digantikan oleh ”gaining pleasure”, sehingga kembali bersesuaian dengan Hukum Tarik-menarik yang diharapkan.

Kedua, ”The Secret” tidak mengungkap secara jelas proses pengharapan yang layaknya diwujudkan pula dengan tindakan realistis untuk meraih harapan yang diinginkan. Penjabaran yang menyatakan bahwa manusia tidaklah perlu menemukan dan memikirkan caranya mengundang potensi untuk ditafsirkan tidak adanya ”tindakan” (action) dari masing-masing individu yang melakukannya.

Seperti yang diungkapkan oleh pakar motivasi Anthony Robbins mengenai pencapaian pribadi lewat bukunya ”Unlimited Power” sedianya harus terdapat sebuah lingkaran tak terputus yang terbentuk lewat proses ”Kepercayaan” (Belief), Potensi (Potent), Tindakan (Action), dan Hasil-hasil (Results) yang akan menumbuhkan lagi kepercayaan tersebut.

Meskipun proses Tindakan (Action) yang seharusnya menjadi proses wajib tersebut tidak dimuat dalam ”The Secret”, bukan berarti “The Secret” tidak menganjurkannya. Terlebih lagi meskipun manusia tidak perlu memikirkan cara bagaimana itu dapat terwujud, bukan berarti manusia tidak perlu mengusahakannya. Sebagai catatan, definisi langkah kedua yaitu ”Percaya” (”Believe”) yang telah disebutkan di atas adalah melibatkan tindakan, pembicaraan, dan pemikiran seakan-akan manusia sudah menerima apa yang ia minta. Patut digarisbawahi secara jelas kata ”tindakan” untuk tidak menyesatkan kita dalam hal ini.

Ketiga, langkah ”Percaya” (”Believe”) dalam "The Secret, apabila tidak dipahami dengan baik bahkan dapat menimbulkan efek kontradiktif dari pemikiran bawah sadar manusia itu sendiri dan mengakibatkan kegagalan. Menurut Michael J. Losier, seorang trainer dan praktisi Neuro Linguistic Programming / NLP dalam bukunya yang berjudul ”Law of Attraction”, Hukum Tarik-menarik akan selalu merespon gerakan yang didasari oleh perasaan subjek pelaku, bukan oleh kata-kata yang diucapkan. Maka subjek pelaku perlu menyadari pula getaran pikiran yang ditimbulkan dari kata-katanya, apakah merupakan getaran yang menimbulkan nuansa positif bagi pikiran, ataukah getaran yang sebaliknya menimbulkan nuansa negatif.

Oleh karenanya, meskipun teknik afirmasi (mengucapkan kata-kata positif untuk membangun diri) tetap penting pula dan merupakan bagian dari teori NLP, sedianya patut diperhatikan pula bahwa sebuah penegasan / kata-kata (afirmasi) positif pun mampu memberikan getaran yang negatif kepada subjek pelaku. Sebagai solusinya, Michael J. Losier menganjurkan untuk menambahkan kata-kata: ”Saya sedang dalam proses...”

Penegasan Michael J. Losier tersebut seakan-akan tidak mendukung adanya kegiatan ”berpura-pura” yang dianjurkan dalam ”The Secret”. Kata-kata ”sedang dalam proses...” akan melemahkan kegiatan untuk ”berpura-pura seakan-akan pelaku sudah mendapatkannya”.

Menurut pendapat saya pribadi, meskipun hal ini tetap saja dapat diperdebatkan, tidak ada yang bertentangan dalam kedua ide tersebut. Ide Michael J. Losier diungkapkan sebagai solusi saat teknik afirmasi tersebut mengalami pertentangan dari pikiran bawah sadar si pelaku, sementara kegiatan afirmasi sendiri sebenarnya dilakukan untuk merekayasa pikiran bawah sadar manusia. Apa yang terjadi saat pikiran bawah sadar manusia menolak secara serta-merta afirmasi yang diberikan? Michael J. Losier lebih memberikan saran untuk melakukan tindakan persuasif terhadap pikiran bawah sadar dengan menstimulasi perlahan-lahan; sementara stimulasi tersebut dititikberatkan oleh ”The Secret” melalui langkah ketiga, ”Menerima” (”Receive”), yang mana subjek pelaku haruslah melibatkan perasaan seperti yang dirasakan saat keinginan tersebut telah terwujud. Perasaan yang dilibatkan ini, yaitu rasa syukur dan bahagia, akan membuka pikiran bawah sadar manusia untuk menerima afirmasi yang diberikan.

Keempat, kalimat bahwa hukum tarik-menarik tidak pernah meleset dan tidak terkecuali dapat menimbulkan pemikiran bahwa apapun yang akan kita pikirkan pasti terlaksana. Sadar ataupun tidak, pernyataan ini dapat menimbulkan sikap fanatisme berlebihan dari pelaku dan bahkan ekspetasi yang berlebihan pula.

Hal yang patut mendapat catatan dan perlu dijadikan dasar pemikiran adalah pernyataan lebih lanjut dari ”The Secret” lewat kalimat Dr Joe Vitale: ”Saya tidak memiliki buku aturan yang mengatakan bahwa mereka akan membutuhkan waktu 30 menit atau 3 hari atau 30 hari. Ini adalah soal penyelarasan Anda dengan Semesta sendiri.”

Ini selayaknya memberikan makna yang sama yang selalu didengung-dengungkan oleh banyak motivator: ”Dalam menjalani hidup ini, sebenarnya Anda tidak pernah gagal. Masalahnya hanyalah waktu.”

Terakhir, patut dicermati pula pernyataan dalam bab 9 ”The Secret” berjudul “The Secret to the YOU” (“Rahasia Anda”) yang memuat definisi “Universe” (Semesta) yang dihubungkan secara keilahian dengan individu manusia sendiri. Hal ini menjadi filosofi terdalam yang menyangkut eksistensi manusia dan hubungannya dengan Semesta, dan tentu saja cukup rentan saat ditubrukkan secara harafiah ke religi masing-masing.

Saya tidak membahas ini secara mendalam karena hanya akan mengundang perdebatan dan polemik tiada akhir; namun saya pribadi merasakan tidak ada hal yang perlu menjadi kontroversi dalam pembahasan bab ini, bahkan menurut pengamatan (sementara) saya terhadap sudut religi manapun. Malahan, ”The Secret” saya anggap mampu menggambarkan perwujudan manusia dan hubungan dinamisnya dengan causa prima Pencipta secara cerdas dan filosofis tanpa harus bersinggungan secara keras dengan kepercayaan masing-masing.

Namun bagaimanapun juga, hal yang seperti ini tetap saja potensial untuk menjadi kontroversi. Saran saya, pembaca, pergunakanlah akal sehat dan nurani jernih saat mempertimbangkan filosofi ”The Secret” pada bab ini. Apabila ternyata itu tidak bersesuaian dengan hati Anda, tinggalkanlah saja bab ini dan Anda tetap dapat memperoleh manfaat tanpa harus mengindahkan filosofi yang tidak bersesuaian tersebut.

Selamat menikmati Hukum Tarik-menarik!

Catatan:
Materi ringkasan ”The Secret” dalam PowerPoint Slide dapat Anda download lewat URL: http://www.freedrive.com/file/204519

Read More......