Talismans and Ritual Acts to Improve Your Luck


"Luck is what happens when preparation meets opportunity.” (Lucius Annaeus Seneca)

Belum lama ini saya membaca kembali sebuah buku lama berjudul “Improve Your Luck & Your Wildest Dreams Can Come True” terbitan MicroMags tahun 2000. Buku ini yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Interaksara dengan judul “Tingkatkan Keberuntungan dan Impian Paling Ambisius Anda Bisa Menjadi Nyata”. Saat saya baca untuk pertama kalinya 3 tahun yang lalu, buku ini sebenarnya cukup inspiratif dengan mengungkapkan perlunya kekuatan pikiran dan rasa percaya untuk merubah hidup menjadi lebih baik; yang akhirnya dalam beberapa tahun sesudahnya saya kenal dan saya pahami secara lebih luas sebagai “Law of Attraction”.

Namun ada sebuah bab yang cukup mengganjal dalam pikiran saya waktu itu, yang cukup mengurangi apresiasi saya terhadap isi buku ini. Padahal dalam bab-bab sebelumnya saya merasa menemukan suatu inspirasi yang luar biasa. Ada sebuah topik yang membuat saya harus mempertanyakan kembali kebenarannya, yang termuat dalam Bab X yang berjudul: “Ubah Keberuntungan Anda dengan Pesona dan Ritual Keberuntungan”. Isi bab ini menganjurkan pembacanya untuk membuat sendiri kebiasaan atau jimat sebelum melakukan suatu tindakan yang tujuannya untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri dan lebih menjamin terjadinya keberuntungan. Berikut saya sajikan petikan dalam bab tersebut:


Para atlit melakukan hal-hal aneh untuk membawa keberuntungan. Pesona dan ritual keberuntungan membantu para atlit menyiapkan diri untuk suatu pertandingan dengan member mereka rasa mantap, aman, dan bahwa mereka mengendalikan keadaan yang sebenarnya tidak mungkin bisa mereka kendalikan: cuaca, cedera, dan peluang buruk.

Misalnya, Michael Jordan memakai celana pendek gymnasium North Carolina di bawah seragamnya. Di tahun 1982, ia membantu Universitas North Carolina memenangkan kejuaraan bola basket perguruan tinggi nasional; sejak itu, ia selalu mengenakan celana pendek gymnasium UNC – dan sekarang ia orang dengan bayaran tertinggi di dunia olahraga. Ia bukan satu-satunya atlit yang mengenakan celana pendek keberuntungan. Deion Sanders memakai celana pendek petinju yang didekorasi dengan lambang dollar besar berwarna putih ke dan dari setiap pertandingan Dallas Cowboys.

Meskipun banyak orang mengira bahwa nomor 13 adalah angka sial, quarterback Dan Marino dan petenis professional Mary Pierce mengatakan bahwa 13 adalah angka keberuntungan mereka. Dan mengenakan No. 13 dengan Miami Dolphins, dan pada turnamen nasional pertamanya, Mary mengalahkan unggulan pertama di Lapangan 13. Tetapi Juwan Howard mau memakai apa saja selama ada angka 5 di dalamnya.

Apabila Randy Johnson menjadi pitcher pertama dalam sebuah pertandingan, maka ia akan selalu memainkan drumnya dan memakan satu piring besar pancake untuk sarapan.

Banyak atlit punya suatu kebiasaan yang mereka dengan setia lakukan – supaya mereka tetap beruntung.

Troy Aikman hanya punya satu takhayul: teman seregu yang sama harus membantu dia menarik baju jerseynya melewati bantalan bahunya sebelum tiap gim dimulai.

Apakah semua itu manjur? Apakah semua ritual dan benda-benda “sihir” ini membawa tambahan bagi keberuntungan kita? Para ahli berkata bahwa semua itu manjur, meskipun tidak dengan cara yang Anda bayangkan.

“Para atlit top menggunakan ritual ini supaya mereka bisa berkonsentrasi, supaya mereka bisa mengarahkan perhatian mereka pada kinerja mereka,” kata Dr. Bruce Ogilvie, seorang pionir dalam bidang psikologi olahraga.

“Semua manipulasi lahiriah yang kecil ini memungkinkan Anda menentukan apa yang penting; supaya bisa tetap pada saat itu,” Dr. Ogilvie menunjukkan.

Banyak di antara kita mempelajari hal tersebut dari para atlit. Setiap orang bisa menggunakan ritual untuk menghapus gangguan. Jika hari depan Anda menuntut perhatian Anda sepenuhnya – ujian yang harus dilalui, wawancara pekerjaan, sesuatu yang meminta konsentrasi dan keberuntungan – Anda ingin memusatkan perhatian diri Anda pada tugas yang menunggu.

Bagaimana ritual itu secara rinci dilakukan tidaklah penting. Yang penting adalah tujuan di balik ritual tersebut, begitulah pendapat Dr. Joel Kirsch, seorang psikolog olahraga.

Bersama ini beberapa cara Anda bisa menerapkan prinsip ini pada kehidupan Anda sendiri:

Anda bisa punya ritual yang bahkan orang yang sedang memperhatikan Anda tidak akan bisa lihat. Misalnya, apabila Anda naik mobil Anda di pagi hari, ketuk bagian atas setir tiga kali. (Tiga adalah nomor keberuntungan di masyarakat mana saja!).

Hal tersebut akan memberi sinyal, “Aku sedang mengumpulkan kesadaranku akan lingkungan. Aku memulai hariku. Aku mengikuti jalanku sendiri.” Apakah dengan berbuat begitu akan membantu gaji Anda dinaikkan? Bisa jadi.

Atau, apabila Anda pergi kerja, daripada membalikkan halaman kalender harian begitu saja, jadikan kebiasaan tersebut ritual harian.

Berdiri di meja tulis Anda. Berhenti sesaat. Bersihkan pikiran Anda. Pandanglah dengan seksama halaman yang sedang Anda balik, menjadikan gerakan itu lambang meninggalkan hari kemarin di belakang Anda dan mulai dengan tenaga baru menghadapi hari yang baru.

“Ada arti yang lebih mendalam terhadap apa yang sedang Anda lakukan,” kata Dr. Kirsch.


Dari petikan di atas, meskipun pentingnya “jimat” dan kebiasaan ritual telah dijabarkan secara ilmiah, tetap saja saya tidak dapat memaknainya dengan logika saya waktu itu dan lebih saya anggap sebagai wacana provokatif yang sama sekali tidak jelas manfaatnya. Namun setelah saya mengenal “Anchor” (jangkar) dalam ilmu Neuro Linguistik Programming (NLP) serta hipnoterapi yang saya pelajari akhir-akhir ini, baru saya pahami bahwa tindakan ritual dan “jimat” pembantu sukses tersebut nyata-nyata merupakan Anchor yang memang dikreasikan dengan sengaja, bukan sebagai sarana magis ataupun klenik.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Anchor? Anchor merupakan sebuah program dari pemikiran bawah sadar (subconscious mind) yang menghubungkan realita dalam simbol-simbol yang dikenali sistem panca indera (penglihatan, pendengaran, perasaan, pengecap, dan penciuman) dengan keadaan emosional seorang individu, baik yang dipahami oleh pikiran sadar (conscious mind) ataupun tidak. Sebagai contoh adalah ikat pinggang yang bisa menjadi Anchor bagi suatu individu sehingga saat individu tersebut lupa memakainya, ia menjadi gelisah dan tidak percaya diri.

Anchor dapat disadari langsung oleh pikiran sadar (conscious mind) ataupun tidak langsung (terhubung hanya secara langsung pada pikiran bawah sadar). Anchor yang tidak disadari secara langsung ini dapat membuat seolah-olah apa yang dialami individu tidak berkaitan dengan perilakunya. Anchor dapat dibentuk secara sengaja (sadar) maupun pula tidak sengaja, dapat pula diubah, ataupun dihilangkan.

Pelaku hipnoterapis kerap kali menemukan Anchor yang terdapat pada kliennya dan dibentuk tanpa sadar. Misalnya karena klien tersebut pernah mempunyai pengalaman buruk saat berada di dalam lift, maka setiap kali ia melihat lift jantungnya berdebar-debar dan ia merasa gelisah sekali. Padahal pengalaman masa lalunya tersebut bahkan telah dilupakan oleh pikiran sadarnya (conscious mind). Dalam hal ini lift tersebut telah menjadi Anchor bagi klien tersebut sehingga Anchor tersebut harus dihilangkan.

Anchor tidaklah selalu buruk. Banyak pula Anchor yang sengaja dibuat oleh seorang hipnoterapis kepada kliennya untuk mendukung sugesti yang diberikan kepada klien tersebut. Sebagai contoh, klien yang ingin berhenti merokok dianjurkan oleh hipnoterapis untuk menutup hidungnya selama 3 detik pada masa-masa di mana kebiasaan merokok itu timbul (misalnya sesudah makan), dan memang setelah melakukannya, ia benar-benar tidak ingin merokok lagi. Apa yang terjadi? Ternyata pada saat terapi, hipnoterapis tersebut memberikan Anchor kepada kliennya, yaitu menutup hidungnya selama 3 detik, sehingga setelah selesai terapi, klien benar-benar tidak berniat merokok kembali meskipun ia sedang dalam masa-masa dimana ia biasa merokok (sehabis makan, misalnya).

Sebagai contoh lain, pernahkah sewaktu kecil Anda diberitahu oleh teman atau orangtua Anda bahwa mengantongi batu dapat menahan keinginan untuk buang air? Meskipun sebenarnya tidak ada keterkaitannya, namun di masa kecil apabila kita benar-benar mempercayainya nyata-nyata kebiasaan itu efektif untuk dilakukan. Mengapa? Dalam hal ini, sugesti ditimbulkan dari Anchor yang memang dibentuk oleh mitos yang diterima oleh teman atau orangtua Anda, yaitu mengantongi batu.

Dengan pemahaman-pemahaman mengenai Anchor inilah, akhirnya saya menyadari bahwa apa yang dianjurkan dan dijabarkan oleh buku “Improve Your Luck & Your Wildest Dreams Can Come True” memang nyata-nyata bermanfaat dan dapat dipahami dengan logika. Sebuah “jimat” dan kebiasaan-kebiasaan aneh yang menjadi ritual dapat dengan sengaja dibuat dengan pemahaman bahwa hal ini semata-mata digunakan sebagai Anchor bagi pikiran bawah sadar (subconscious mind) kita untuk dapat meningkatkan percaya diri, bukannya karena benda atau kegiatan tersebut mengandung unsur magis di dalamnya.

Apakah kegiatan membuat “jimat” dan kegiatan ritual ini bertentangan dengan norma-norma agama? Saya tidak memiliki kompetensi untuk menjawabnya. Saya pribadi berpendapat bahwa sepanjang kita memahaminya sebagai kegiatan untuk membuat Anchor bagi diri kita dan bukan memaknai unsur magis ataupun klenik di dalamnya, ini berarti kita memanfaatkan anugerah pikiran bawah sadar (subconscious mind) yang memang merupakan karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada diri kita untuk disyukuri dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Benda dan kegiatan tersebut bukan merupakan suatu tindakan kontradiktif sepanjang kita tidak bermaksud memberhalakannya sebagai sesuatu yang meminimalisir kepercayaan kita terhadap kuasa-Nya. Namun, bagi Anda yang tidak sependapat dengan saya ataupun masih ragu-ragu, Anda dapat pula membuat Anchor sendiri yang Anda yakini selaras dengan kepercayaan Anda sebelum Anda melakukan sesuatu, semisal dengan kegiatan doa menurut kepercayaan Anda sendiri.

Silakan mencoba dan mengkreasikan sendiri Anchor yang sesuai untuk Anda!

Read More......

Not Just “Pretend”, but Also “As If”


“The state of your life is nothing more than a reflection of your state of mind.” (Dr. Wayne W. Dyer)

Kembali saya harus membahas topik dalam buku dan film dokumenter “The Secret” dan kaitannya dengan pikiran bawah sadar (subconscious mind) karena nampaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikaji lebih mendalam dalam buku dan film dokumenter “The Secret” (sebelumnya saya bahas lewat penulisan saya yang terdahulu dalam “Behind ‘The Secret’” dan Synergetic Approach for Subconscious Mind”).

Apabila dalam kegiatan “percaya” (Believe) yang disarankan dalam “The Secret” selayaknya diawali dengan “memulai lewat tindakan berpura-pura” (karena jika kita berpura-pura, kita akan mulai sungguh-sungguh percaya bahwa kita menerima apa yang kita inginkan), dan dalam penulisan saya yang terdahulu saya garisbawahi pentingnya “suatu getaran positif dalam pikiran bawah sadar (subsconcious mind)”, ternyata definisi “berpura-pura” perlu ditinjau secara lebih lanjut.

Sebenarnya tidak akan menjadi masalah apabila maksud yang terkandung dalam “The Secret” bersesuaian dengan “getaran positif dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind)”, karena masalah definisi suatu kata bagaimanapun juga bisa diinterpretasikan secara berbeda-beda maknanya. Namun lewat buku “Transformasi Diri – Memberdayakan Diri melalui Hipnoterapi” yang membahas masalah hipnoterapi dan pikiran bawah sadar manusia dan ditulis oleh NSK Nugroho, seorang pakar hipnoterapis Indonesia, dapat saya garisbawahi bahwa pilihan kata yang lebih tepat untuk melakukan kegiatan “percaya” (believe) adalah bukan sekedar “berpura-pura” (pretend), namun juga “seolah-olah”(as if). Sehingga tanpa bermaksud untuk mengkoreksi, selayaknya dalam tindakan “berpura-pura” (pretend) tersebut dipahami secara lebih meluas dengan melibatkan makna “seolah-olah” (as if).

Apa yang berbeda dari 2 definisi di atas? Nampaknya tidak (terlalu) berbeda. Namun perlu diperhatikan bahwa menurut buku “Transformasi Diri – Memberdayakan Diri melalui Hipnoterapi” tersebut, definisi “berpura-pura” belum tentu membentuk wawasan internal (ide) atau tidak sesuai dengan wawasan internal dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind) sehingga sistem pikiran sadarnya (conscious mind) masih berperan – dalam mengkritisi, menganalisis, mempertimbangkan, dan sebagainya – terhadap tindakan sekarang, sehingga pelaku TIDAK NETRAL atas perilaku dan tindakan yang diperbuatnya sekarang.

Sedangkan, tindakan “seolah-olah” (as if) adalah suatu tindakan “berpura-pura” (pretend) yang dilanjutkan untuk membentuk wawasan internal (ide) sehingga terbentuk modifikasi sistem nilai atau program. Oleh karena itu, sangat tipis perbedaan antara “berpura-pura” dan “seolah-olah”.

Suatu tindakan “berpura-pura” dapat menjadi “seolah-olah”, jika:
• Pelaku melepaskan peran sistem pikiran sadarnya (conscious mind) dalam mengkritisi, menganalisis dan sebagainya – dengan membiarkan dirinya mengikuti arus emosi yang terjadi, seperti menghayatinya/menjiwainya dengan sepenuh hati – sehingga informasi tersebut lolos masuk ke pikiran bawah sadar (subconscious mind) untuk diproses, dan
• Mengulang-ulang tindakan “berpura-pura” tersebut (sehingga menjadi keadaan yang sugestif) dengan emosional (agar benar-benar terlepas dari campur tangan sistem pikiran sadar / conscious mind) dan melaksanakannya secara konsisten.
Proses di atas akan semakin cepat apabila sugesti untuk “berpura-pura” tersebut sesuai dengan sistem nilai yang sudah terbentuk dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind).

Dengan kata lain, tindakan “seolah-olah” cenderung menetap dan membentuk modifikasi program yang mendasari tindakan/perilaku selanjutnya, berbeda dari tindakan “berpura-pura” yang cenderung sementara.

Karena dalam teori hipnosis sendiri dipahami bahwa meningkatnya kreativitas seseorang dalam keadaan terhipnosis cenderung membuat orang tersebut berperilaku “seolah-olah” (as if) bahwa apa yang diimajinasikannya seolah sedang terjadi. Hal ini terjadi karena apa yang diimajinasikannya telah terkait dengan suatu sistem nilai dalam pikiran bawah sadarnya (subconscious mind). Dengan demikian, sangat besar kemungkinannya secara refleks (sengaja atau tidak), keadaan ini dapat berlanjut menjadi suatu reaksi tindakan yang lama-kelamaan menjadi perilaku.

Pembaca, pemahaman di atas bukan bermaksud mengecilkan makna dan manfaat “The Secret” ataupun menyalahkannya, karena sekali lagi saya katakan bahwa sebuah definisi kata dapat diinterpretasikan dengan makna yang berbeda bagi orang yang berbeda-beda pula. Namun dengan pemahaman lebih lanjut mengenai definisi “pretend” dan “as if”, kita dapat mengetahui lebih lanjut makna-makna dan arah tujuan yang harus dilakukan secara benar dalam kegiatan “percaya” (believe) untuk dapat mencapai apa yang kita cita-citakan.

Read More......

Knowledge: The Essential of Human Life


"I think, therefore I am.” (Rene Descartes)

Kutipan di atas lebih dikenal dalam bahasa Latin sebagai: "Cogito Ergo Sum" yang bermakna: “Aku berpikir, maka aku ada”. Kalimat yang menjadi dasar filosofi Barat ini dicetuskan oleh Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf Perancis yang mendapat gelar sebagai “Bapak Filosofi Modern”. Pernyataan ini menegaskan bahwa ia sebagai makhluk individu menyadari keberadaan dirinya karena ia berpikir. Memang demikianlah, proses berpikir menegaskan keakalbudian manusia yang menyatakan keberadaannya terhadap individu manusia yang lain, sekaligus membedakan harkat hidupnya dibandingkan makhluk hidup yang lain, yaitu hewan dan tumbuhan.

Sudah menjadi tuntutan hidup dan rahmat bagi umat manusia untuk berpikir, yang sekaligus dapat didefinisikan pula bahwa kegiatan berpikir ini menjadi kewajiban dan hak umat manusia dalam menjalani hidupnya. Dari kegiatan berpikir inilah, proses kehidupan manusia terus berkembang dari waktu ke waktu. Dalam tahap manusia primitif yang saat itu hanya mengenal kebutuhan dasar untuk bertahan hidup (survive) dan berkembang biak (sex).

Demi mempertahankan hidupnya (survive), sebagai individu manusia dianugerahi rahmat untuk berpikir. Hal ini menjadi hak yang seterusnya berkembang dalam kegiatan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, lebih unggul (dominan) daripada individu lain, dan mencari makna kehadirannya dalam kehidupan ini lewat proses aktualisasi dirinya. Dalam kegiatan berpikir tersebut dihasilkan ilmu pengetahuan dan membentuk pola pikir manusia yang lebih baik berupa kecerdasan akal budi. Kegiatan berpikir manusia inilah yang menegaskan dirinya sebagai makhluk individu yang mempunyai keberadaan dan perlu berarti di dunia ini.

Di sisi lain, dalam kegiatan perkembangbiakan manusia (sex) yang menghasilkan manusia baru, pertumbuhan fisik manusia baru tersebut dari masa ke masa dapat berjalan tanpa keterlibatan manusia lain, namun tidak demikian dengan pertumbuhan mental dan kecerdasannya. Proses berpikir manusia dan pertumbuhan kecerdasannya sangat bergantung kepada orang lain, sebagai esensi dari keberadaannya sebagai makhluk sosial. Selanjutnya, manusia perlu mengembangkan kegiatan berpikirnya dan meneruskan proses pewarisan ilmu pengetahuan tersebut kepada manusia lain, setidak-tidaknya kepada keturunannya (sebagai akibat dari kebutuhan dasarnya untuk berkembang biak), sehingga keturunannya tersebut dapat dijamin keberlangsungan hidupnya (dinafkahi) dan menjalani hidup ini dengan lebih baik (dididik). Inilah hakikat kewajiban manusia untuk berpikir dan mengembangkan pengetahuan karena statusnya sebagai makhluk sosial.

Dalam proses berpikir sebagai tuntutan hidup manusia, tak jarang pula didapat suatu berbenturan ide antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan mengakibatkan perselisihan. Sebagai contoh mendasar saya ambil dari perbedaan pola pikir yang berhubungan dengan cara pandang manusia terhadap causa prima sebagai akibat pertama yang mengakibatkan segala sesuatu (termasuk manusia itu sendiri): benturan kaum atheis dengan kaum religius, benturan kaum religius satu dengan kaum religius yang lain, bahkan antara kaum religius itu sendiri, yang tak jarang dijumpai di berbagai kurun waktu. Padahal apabila kita sama-sama menyadari kewajiban manusia untuk berpikir demi fungsi sosialnya, perselisihan tersebut dapat dihindarkan. Karena manusia berpikir demi sesamanya, sudah seharusnyalah kita menghargai usaha berpikirnya meskipun itu tidak bersesuaian dengan pola pikir kita. Bagaimanapun juga, selayaknyalah kita menghargai manusia yang berpikir, meskipun pikiran tersebut bertentangan dengan pemikiran kita sendiri, karena manusia tersebut berusaha berkontribusi bagi kita. Daripada manusia yang lain yang tidak berpikir, yang berarti mereka tidak mempunyai kepedulian terhadap hidup manusia yang lain.

Dalam cara pandang pemikiran manusia tentang ilmu pengetahuan dan causa prima tersebut saya temukan sebuah filosofi tentang ilmu pengetahuan, kecerdasan (kebodohan), dan hakikatnya dalam kehidupan manusia yang sungguh-sungguh menarik dan patut mendapat apresiasi lebih dalam buku “Laskar Pelangi” karangan Andrea Hirata pada kalimat-kalimat awal Bab 11 – “Langit Ketujuh” yang petikannya sebagai berikut:

“Kebodohan berbentuk seperti asap, uap air, dan kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan pernah sekalipun berhenti.

Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing. Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat. Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer – lapisan paling luar atmosfer dengan bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruskan melaju menaklukkan langit ketujuh.

Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai gambaran imaginer tempat tertinggi dari yang paling tinggi. Di tempat asing itu, tempat yang tak’kan pernah memiliki nama, di atas langit ke tujuh, disitulah kebodohan bersemayam. Rupanya seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan. Maka apabla kita tanyakan sesuatu kepada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan meracau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagian yang lain diam terpaku, mulutnya ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala mereka.

Kita tak perlu menempuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena seluruh lapisan langit dan gugusan planet itu sesungguhnya terkonstelasi di dalam kepala kita sendiri. Apa yang ada pada pikiran kita, dalam gumpalan otak seukuran genggam, dapat menjangkau ruang seluas jagat raya. Para pemimpi seperti Nicolaus Copernicus, Battista Della Porta, dan Lippershey malah menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan system tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seorang pemimpi, menuliskan ilmu dalam puisi-puisi.

Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemayam, adalah metafor dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor keagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap lembar daun yang akan jatuh…”


Sebuah deskripsi yang luar biasa tentang pengungkapan hakikat pencarian ilmu pengetahuan bagi kecerdasan manusia. Karena sebenarnya ilmu pengetahuan terus berkembang seiring dengan hidup manusia, dan bermuara pada Pencipta manusia itu sendiri. Tidak pernah ada ilmuwan yang berpredikat paling pintar dan paling berilmu, dan dengan menyadari hal yang demikian ini menjadikan manusia untuk menyadari “kebodohannya” sehingga manusia terus berusaha untuk mengembangkan pengetahuannya supaya selaras dengan kehendak Penciptanya sebagai citra dan makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna.

Karena tidak ada seorang pun yang dapat menyibak tirai keseluruhan ilmu pengetahuan inilah selayaknya pula manusia menyadari keberadaan causa prima yang berkuasa atas ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahuan yang semakin berkembang dari masa ke masa ini semestinya tidak menjadikan manusia merasa dirinya mempunyai supremasi mutlak atas segala hal dan meniadakan causa prima.




Read More......