Mirroring Solomon's Wisdom


"Like in the old poetry, wisdom may only come to few people who received a little gift" (Huang Qingrong – “Supreme Wisdom”)

Apabila seseorang bertanya kepada saya, "Apakah sebenarnya yang menjadi hakekat kepemimpinan tertinggi?"
Saya akan dengan lugas menjawabnya dengan satu kata: “kebijaksanaan”. Sebuah kata yang saya yakini merupakan sebuah faktor penentu yang mengangkat tingkat kepemimpinan dari yang berkategori ”memimpin secara benar” menjadi ”memimpin secara luar biasa”.

Tanpa kebijaksanaan, seorang pemimpin mungkin dapat memimpin secara benar dengan kebaikan hatinya, integritas, dan faktor-faktor kepemimpinan lainnya. Ia juga masih dimungkinkan memiliki pengikut-pengikut yang tetap hormat dan mengikutinya di saat ia tidak bertindak bijak. Namun kebijaksanaan menjadi kunci yang menjamin pemimpin menjadi sempurna: tidak akan salah dan menjamin tercapainya suatu tujuan bersama.

Gajahmada (... – 1364 M), seperti yang dituliskan Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama, diakui sebagai seorang pemimpin yang berani dan mempunyai integritas tinggi dalam visinya mempersatukan Nusantara. Namun karena ketidakbijaksanaannya, ia dinilai bertanggung jawab terhadap Perang Bubat yang terjadi antara Negara Majapahit dan Sunda. Ia bisa dikatakan tidak sempurna dalam pencapaian tujuannya, meskipun namanya tetap harum hingga sekarang.

Liu Bei (161-223 M), Kaisar Shu, salah satu dari penguasa 3 Kerajaan (Sanguo/Samkok) di daratan China waktu itu, dituturkan oleh Luo Guanzhong dalam roman ”Kisah Tiga Kerajaan” (Romance of the Three Kingdom / San Guo Yan Yi) sebagai pemimpin yang baik hati dan mencintai pengikutnya. Namun karena ketidakbijaksanaannya saat mementingkan kepentingan balas dendam pribadi atas kematian adik dan jenderal besarnya Guan Yu, ia gagal mempersatukan wilayah China meskipun pengikut-pengikutnya pun tetap setia kepadanya.

Yudistira, orang pertama dalam Pandawa Lima, dikisahkan dalam epos Mahabharata karangan Vyasa sebagai seorang yang tulus hati dan terbuka terhadap saudara-saudaranya. Namun karena ketidakbijaksanaannya dalam tindakannya bermain dadu melawan Kurawa, ia membawa saudara-saudaranya menderita dalam pengasingan selama 13 tahun lamanya.

Sementara kebijaksanaan menjadi idaman yang nampaknya tidak mudah untuk dimiliki bahkan oleh pemimpin besar sekalipun, tercatat pula seorang pemimpin yang diakui memiliki hakekat kepemimpinan tertinggi tersebut. Ia adalah Solomon, anak Daud dan menjadi raja ketiga Kerajaan Israel yang memerintah pada masa kurang lebih 971 – 931 SM. Saya sengaja menyebutnya bukan sebagai ”Salomo” ataupun ”Sulaiman” untuk menerobos batas penamaan dalam kitab suci Islam maupun Kristiani. Dan memang, kebijaksanaan Solomon diakui dan dicatat dalam Al-Quran maupun Alkitab Perjanjian Lama.

Dalam Al-Quran dikisahkan bahwa Solomon telah menunjukkan kecerdasan dan ketajaman pikirannya sejak usianya masih belum dewasa:

Kebijaksanaan Solomon dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang dilaluinya. Misalnya, saat ia mengetengahkan ide kepada ayahnya, Raja Daud untuk menyelesaikan perselisihan antara dua pihak, yaitu antara pemilik kebun dan pemilik kambing yang pada suatu saat merusak kebun tersebut. Mulanya Raja Daud memutuskan pemilik kambing supaya menyerahkan ternaknya kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi disebabkan ternaknya memasuki dan merusakkan kebun itu.

Solomon yang mendengar keputusan bapaknya menyelanya, “Ayah, menurut hemat saya, keputusan itu sepatutnya demikian: kepada pemilik kebun yang telah musnah tanamannya selayaknya diberi kambing tersebut untuk dipelihara, diambil hasilnya, dan dimanfaatkan bagi keperluannya. Sementara kebun yang rusak itu diserahkan kepada pemilik kambing untuk dijaga sehingga kembali kepada keadaan asal. Kemudian masing-masing menerima kembali miliknya, sehingga dengan cara demikian masing-masing pihak tidak ada yang mendapat keuntungan atau menderita kerugian lebih daripada sepatutnya.”

Pendapat yang dikemukakan Solomon disetujui kedua pihak. Malah khalayak ramai yang menyaksikan perbicaraan itu kagum dengan kebijaksanaannya dan hal tersebut tak lama kemudian tersebar luas. Akibat dari kebijaksanaannya pula, Solomon dipilih Daud untuk menggantikannya sebagai Raja Israel.

Dalam Alkitab Perjanjian Lama melalui Kitab Tawarikh dan Raja-raja juga menggambarkan Solomon sebagai raja mempunyai hikmat dan kebijaksanaan:

Kebijaksanaan Solomon digambarkan melalui kisah tentang dua orang perempuan yang memperebutkan seorang anak bayi dan keduanya sama-sama mengaku sebagai ibu sang bayi tersebut. Solomon meminta diambilkan sebilah pedang dan memutuskan bahwa supaya adil, bayi itu harus dibelah dua, dan masing-masing perempuan itu akan mendapatkan setengah. Ibu sejati sang bayi memohon kepada Solomon agar bayi itu dibiarkan hidup, bahkan ia merelakan bayinya diserahkan kepada perempuan yang satunya, sementara ia tidak mendapatkan bayinya. Dengan cara itu Solomon berhasil menemukan ibu sejati bayi tersebut.

Kedua kitab suci tersebut sepakat, bahwa kebijaksanaan Solomon tersebut merupakan anugerah yang diberikan secara istimewa dari Tuhan yang Maha Kuasa. Lantas, apakah sebenarnya pemimpin-pemimpin yang lain ataupun Anda sendiri, Pembaca, tidak mendapatkan anugerah yang sama?

Wallace D. Wattles (1860-1911) dalam bukunya yang berjudul ”The Science of Being Great” (Ilmu Menjadi Agung) mengungkapkan bahwa sebenarnya manusia menerima anugerah yang sama dari Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kebijaksanaan. Hanya rupa-rupanya, meskipun kebijaksanaan tersebut telah dianugerahkan, bagaimanapun juga manusia harus tetap mengusahakannya untuk timbul dalam dirinya sendiri.

Bagaimana caranya? Secara ringkas dalam buku tersebut dikatakan bahwa kebijaksanaan didapatkan dengan membaca pikiran Tuhan, yang dirumuskan melalui langkah-langkah di bawah ini:

Tahap pertama adalah merubah sudut pandang, baik sudut pandang sosial maupun perorangan. Maksudnya adalah Anda haruslah mempunyai sudut pandang baru yang meyakini bahwa dunia dan semua yang dikandungnya adalah sempurna, meskipun belum selesai. Semua ciptaan Tuhan ini, termasuk kita sendiri dan juga manusia-manusia lainnya, adalah baik adanya.

Tahap kedua adalah konsekrasi, yaitu ketaatan kepada jiwa. Ini berarti hendaklah kita membawa tubuh fisik kita sendiri untuk mematuhi akal yang dikuasai oleh jiwa dan dianugerahkan Tuhan. Bukan sebaliknya dimana kita seringkali berada pada kondisi dimana hawa nafsu fisik mengalahkan akal sehat kita.

Tahap ketiga adalah identifikasi, yaitu menyadari bahwa kebijaksanaan yang disebut sebagai Prinsip Kekuatan adalah eksistensi dari Tuhan sendiri. Tidak bisa ada satu jenis kecerdasan dalam Tuhan dan jenis kecerdasan lain dalam manusia; kecerdasan hanya bisa ada di dalam zat yang cerdas, dan Zat Cerdas tersebut adalah Tuhan.

Tahap keempat adalah idealisasi, yaitu menggambarkan dengan jelas suatu hasrat yang kita inginkan dan menahannya dalam benak sampai ia menjadi bentuk-pikiran yang pasti. Ini berarti hendaklah kita membuat betuk-pikiran akan diri yang kuat, sehat, dan sejahtera serta tidak membiarkan orang lain memutuskan (menghakimi) akan menjadi seperti apa diri kita.

Tahap terakhir adalah realisasi, yaitu melakukan tindakan nyata di saat kini dan mewujudkan bentuk pikiran ke dalam bentuk material. Maksudnya secara ringkas adalah melakukan apa yang dapat kita lakukan sekarang ini saat kita merasa di dalam lubuk sanubari kita bahwa tindakan tertentu yang kita lakukan adalah benar. Berarti selayaknya kita tidak pernah meragukan diri kita sendiri, dan menjalani segala sesuatunya dengan dibimbing secara mutlak oleh terang di batin diri yaitu persepsi kebenaran di dalam segala hal.

Sebuah pedoman menarik yang layak untuk ditelaah dan dipelajari, Pembaca. Apabila benar adanya, bukan tidak mungkin akan timbul lagi pemimpin-pemimpin dengan anugerah kebijaksanaan yang luar biasa dan sempurna. Sebuah persembahan istimewa dari Wattles selain ”The Science of Getting Rich”.

0 comments: