"I think, therefore I am.” (Rene Descartes)
Kutipan di atas lebih dikenal dalam bahasa Latin sebagai: "Cogito Ergo Sum" yang bermakna: “Aku berpikir, maka aku ada”. Kalimat yang menjadi dasar filosofi Barat ini dicetuskan oleh Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf Perancis yang mendapat gelar sebagai “Bapak Filosofi Modern”. Pernyataan ini menegaskan bahwa ia sebagai makhluk individu menyadari keberadaan dirinya karena ia berpikir. Memang demikianlah, proses berpikir menegaskan keakalbudian manusia yang menyatakan keberadaannya terhadap individu manusia yang lain, sekaligus membedakan harkat hidupnya dibandingkan makhluk hidup yang lain, yaitu hewan dan tumbuhan.
Sudah menjadi tuntutan hidup dan rahmat bagi umat manusia untuk berpikir, yang sekaligus dapat didefinisikan pula bahwa kegiatan berpikir ini menjadi kewajiban dan hak umat manusia dalam menjalani hidupnya. Dari kegiatan berpikir inilah, proses kehidupan manusia terus berkembang dari waktu ke waktu. Dalam tahap manusia primitif yang saat itu hanya mengenal kebutuhan dasar untuk bertahan hidup (survive) dan berkembang biak (sex).
Demi mempertahankan hidupnya (survive), sebagai individu manusia dianugerahi rahmat untuk berpikir. Hal ini menjadi hak yang seterusnya berkembang dalam kegiatan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, lebih unggul (dominan) daripada individu lain, dan mencari makna kehadirannya dalam kehidupan ini lewat proses aktualisasi dirinya. Dalam kegiatan berpikir tersebut dihasilkan ilmu pengetahuan dan membentuk pola pikir manusia yang lebih baik berupa kecerdasan akal budi. Kegiatan berpikir manusia inilah yang menegaskan dirinya sebagai makhluk individu yang mempunyai keberadaan dan perlu berarti di dunia ini.
Di sisi lain, dalam kegiatan perkembangbiakan manusia (sex) yang menghasilkan manusia baru, pertumbuhan fisik manusia baru tersebut dari masa ke masa dapat berjalan tanpa keterlibatan manusia lain, namun tidak demikian dengan pertumbuhan mental dan kecerdasannya. Proses berpikir manusia dan pertumbuhan kecerdasannya sangat bergantung kepada orang lain, sebagai esensi dari keberadaannya sebagai makhluk sosial. Selanjutnya, manusia perlu mengembangkan kegiatan berpikirnya dan meneruskan proses pewarisan ilmu pengetahuan tersebut kepada manusia lain, setidak-tidaknya kepada keturunannya (sebagai akibat dari kebutuhan dasarnya untuk berkembang biak), sehingga keturunannya tersebut dapat dijamin keberlangsungan hidupnya (dinafkahi) dan menjalani hidup ini dengan lebih baik (dididik). Inilah hakikat kewajiban manusia untuk berpikir dan mengembangkan pengetahuan karena statusnya sebagai makhluk sosial.
Dalam proses berpikir sebagai tuntutan hidup manusia, tak jarang pula didapat suatu berbenturan ide antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan mengakibatkan perselisihan. Sebagai contoh mendasar saya ambil dari perbedaan pola pikir yang berhubungan dengan cara pandang manusia terhadap causa prima sebagai akibat pertama yang mengakibatkan segala sesuatu (termasuk manusia itu sendiri): benturan kaum atheis dengan kaum religius, benturan kaum religius satu dengan kaum religius yang lain, bahkan antara kaum religius itu sendiri, yang tak jarang dijumpai di berbagai kurun waktu. Padahal apabila kita sama-sama menyadari kewajiban manusia untuk berpikir demi fungsi sosialnya, perselisihan tersebut dapat dihindarkan. Karena manusia berpikir demi sesamanya, sudah seharusnyalah kita menghargai usaha berpikirnya meskipun itu tidak bersesuaian dengan pola pikir kita. Bagaimanapun juga, selayaknyalah kita menghargai manusia yang berpikir, meskipun pikiran tersebut bertentangan dengan pemikiran kita sendiri, karena manusia tersebut berusaha berkontribusi bagi kita. Daripada manusia yang lain yang tidak berpikir, yang berarti mereka tidak mempunyai kepedulian terhadap hidup manusia yang lain.
Dalam cara pandang pemikiran manusia tentang ilmu pengetahuan dan causa prima tersebut saya temukan sebuah filosofi tentang ilmu pengetahuan, kecerdasan (kebodohan), dan hakikatnya dalam kehidupan manusia yang sungguh-sungguh menarik dan patut mendapat apresiasi lebih dalam buku “Laskar Pelangi” karangan Andrea Hirata pada kalimat-kalimat awal Bab 11 – “Langit Ketujuh” yang petikannya sebagai berikut:
“Kebodohan berbentuk seperti asap, uap air, dan kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan pernah sekalipun berhenti.
Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing. Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat. Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer – lapisan paling luar atmosfer dengan bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruskan melaju menaklukkan langit ketujuh.
Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai gambaran imaginer tempat tertinggi dari yang paling tinggi. Di tempat asing itu, tempat yang tak’kan pernah memiliki nama, di atas langit ke tujuh, disitulah kebodohan bersemayam. Rupanya seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan. Maka apabla kita tanyakan sesuatu kepada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan meracau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagian yang lain diam terpaku, mulutnya ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala mereka.
Kita tak perlu menempuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena seluruh lapisan langit dan gugusan planet itu sesungguhnya terkonstelasi di dalam kepala kita sendiri. Apa yang ada pada pikiran kita, dalam gumpalan otak seukuran genggam, dapat menjangkau ruang seluas jagat raya. Para pemimpi seperti Nicolaus Copernicus, Battista Della Porta, dan Lippershey malah menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan system tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seorang pemimpi, menuliskan ilmu dalam puisi-puisi.
Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemayam, adalah metafor dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor keagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap lembar daun yang akan jatuh…”
Sebuah deskripsi yang luar biasa tentang pengungkapan hakikat pencarian ilmu pengetahuan bagi kecerdasan manusia. Karena sebenarnya ilmu pengetahuan terus berkembang seiring dengan hidup manusia, dan bermuara pada Pencipta manusia itu sendiri. Tidak pernah ada ilmuwan yang berpredikat paling pintar dan paling berilmu, dan dengan menyadari hal yang demikian ini menjadikan manusia untuk menyadari “kebodohannya” sehingga manusia terus berusaha untuk mengembangkan pengetahuannya supaya selaras dengan kehendak Penciptanya sebagai citra dan makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna.
Karena tidak ada seorang pun yang dapat menyibak tirai keseluruhan ilmu pengetahuan inilah selayaknya pula manusia menyadari keberadaan causa prima yang berkuasa atas ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahuan yang semakin berkembang dari masa ke masa ini semestinya tidak menjadikan manusia merasa dirinya mempunyai supremasi mutlak atas segala hal dan meniadakan causa prima.
Knowledge: The Essential of Human Life
Posted by Willy Wong at 10:40 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment