Re-thinking about “Ora et Labora”


"God Almighty knows previously what you'll choose with your free desire" (St. August)

Semboyan Latin “Ora et Labora”, yang bermakna “Berdoa dan Bekerja”, telah menjadi panduan umum yang telah dikenal banyak orang, dan telah saya kenal sendiri sejak saya masih menginjak bangku pendidikan Sekolah Dasar. Maknanya lugas, melakukan suatu perkerjaan (mencapaian tujuan) yang diimbangi oleh “Tindakan” (Action) dan juga menggantungkan pencapaian harapannya kepada Tuhan sebagai penentu Yang Maha Kuasa.

Semboyan ini sebenarnya mempunyai adaptasinya pula dalam Bahasa Indonesia: “Manusia berusaha, Tuhan menentukan”. Sebuah susunan kalimat utuh yang menjadi syarat mutlak keberhasilan suatu tujuan. Saya mengatakannya sebagai suatu susunan kalimat utuh karena tidak seharusnyalah orang hanya memfokuskan diri kepada petikan kalimat kedua: ”Tuhan menentukan” dan mengabaikan hakikat keharusan manusia untuk berusaha (Action).

Hal serupa yang terjadi pula ketika film dokumenter dan buku ”The Secret” dikritisi sebagian pengamat hanya menekankan pada segi ”Believe” (Percaya) yang dapat dimaknai pula sebagai tindakan ”Ora” (Berdoa), dan keharusan suatu usaha (Action) hanya diutarakan secara tersirat dan terkesan bukan sebagai bagian pokok dalam pencapaian tujuan. (Pendapat pribadi saya mengenai ini telah saya utarakan pula dalam tulisan ”Behind ’The Secret’” pada blog ini pula).

Singkatnya, saya tetap mengapresiasi kekuatan doa dan usaha manusia sebagai kunci sukses suatu tujuan tanpa harus mendiskreditkan ”The Secret”. Dan keduanya sudah selayaknya mendapatkan porsi yang seimbang; dimana kita terus memberikan harapan dan berseru kepada Pencipta sebagai penentu hasil akhir, sementara pula kita harus tetap fokus dan berusaha untuk mengupayakannya pula.

Sebuah inspirasi baru tiba-tiba muncul setelah saya membaca petikan buku yang ditulis salah seorang tokoh yang tidak pernah saya kagumi (dan sampai saat ini pula saya katakan ”belum”). Buku tersebut berjudul ”Ganti Hati” karangan Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group yang membawahi surat kabar nasional ”Jawa Pos” dan jaringan-jaringan media lain dalam grupnya. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan berserinya saat menjalani transpantasi liver bulan Agustus 2007 dengan judul ”Dahlan Iskan, Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver”. Tulisan ini dimuat dalam jaringan medianya di bawah Jawa Pos News Network (JPNN) termasuk harian ”Jawa Pos” sendiri secara nonstop 33 hari! Sebuah tindakan kontroversial yang mengundang tanya dan kesan berlebihan (termasuk oleh saya pribadi), di balik kekaguman dan simpati pula yang timbul dari pembaca-pembacanya.

Terlepas dari hal tersebut, sebuah filosofi menarik patut saya apresiasi dan menjadi manfaat baru bagi saya pribadi, saat ia melontarkan pemikirannya tentang kecenderungan manusia untuk meminta apa saja kepada Tuhan sehingga terkesan malas berusaha. Padahal, Tuhan telah mengaruniakan otak (saya pribadi lebih suka menyebutnya sebagai ”akal budi”) kepada manusia untuk mampu mengatasi masalah-masalahnya sediri.

Sungguh sebuah filosofi berharga yang menempatkan Tuhan dan manusia pada posisi dan ”kewajiban” semestinya, dan sejalan pula dengan pendapat filsuf dan teolog Katholik legendaris, St. Agustinus, yang menyatakan kehendak manusia secara bebas dalam suatu tindakan yang juga telah diketahui Penciptanya terlebih dahulu.

Lantas, apakah arti ”doa” ataupun ”meminta” (Ask) menjadi kecil maknanya dengan pemikiran tersebut? Justru tidak, namun sebuah definisi baru tentang ”doa” perlu ditetapkan dan dipahami lagi lebih lanjut. ”Doa” yang seharusnya bukanlah doa yang semata-mata bermakna ”permintaan” semata, melainkan sebuah ibadah utuh yang disebut pula sebagai doa itu sendiri dalam agama Kristen, ataupun dimaknai ”zikir” dalam agama Islam.

Karena menurut Dahlan, ”berdoa” dalam arti meminta pada dasarnya serupa pula dengan maknanya sebagai ”memerintah Tuhan”. (Dikatakan Dahlan sebagai kajian Ilmu Mantiq (logika) sewaktu dirinya belajar di Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan, yang juga merupakan pesantren keluarganya sendiri). Simak pendapatnya dalam sebuah tulisannya pada bab 11: ”Kalau tidak percaya, perhatikan kata kerja di setiap doa. Pasti menggunakan bentuk kata perintah. Dalam bahasa Arab disebut ”isim amar” atau bentuk kata perintah. ”Masukkanlah ke surga”, ”berikanlah panjang umur”, ”jauhkan dari neraka”, dan seterusnya.”

Entah disadari Dahlan ataupun tidak, gagasan ini sebenarnya mendukung pula kaidah ”The Secret” bahwa manusia mampu mendapatkan apa yang diinginkannya dengan memikirkannya (menggunakan otak / akal budi), sehingga dapat menengahi perdebatan apakah gagasan ”The Secret” tersebut mengecilkan makna Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan hasil akhir tujuan.

Doa dengan makna ”zikir” (mengingat Tuhan) itulah yang seharusnya lebih diutamakan manusia. Selagi berusaha untuk mencapai tujuannya dengan tindakan (Action) dan bukan pasrah apa adanya; selayaknyalah pula manusia tetap mengingat Tuhan, memuji kebesarannya, dan lebih penting lagi bersyukur kepada Penciptanya dalam arti seluas-luasnya.

Bersyukur dalam arti seluas-luasnya inilah yang menurut pendapat saya mutlak terdiri dari tiga hal: Pertama adalah bersyukur dan memaknai dengan bahagia atas apa yang dialaminya saat ini, bukannya berkeluh kesah dan merasa tidak puas atas penderitaan ataupun apa yang belum dicapainya. Kedua adalah bersyukur atas akal budi sebagai karunia terbesar kepada manusia dalam pencapaian tujuannya. Akal budi yang bahkan telah dibentuk dan dikembangkan sebelum manusia menciptakan tujuan-tujuannya. Dan ketiga adalah bersyukur atas kehendak Yang Maha Kuasa, yang Maha Berkehendak dan telah mengetahui hasil akhir dari ”kehendak bebas” yang dikaruniakan kepada manusia-Nya berupa akal budi tersebut.

Memang demikianlah pembaca, apapun kepercayaan yang mendasari Anda, saya rasa definisi "doa" yang demikian akan menjadikan diri Anda lebih mudah mendekatkan diri kepada-Nya dan mencapai tujuan-tujuan Anda yang selaras dengan kehendak-Nya pula.

Last but not least, honestly I must say a great thanks to Mr. Yu Se Kan (Dahlan Iskan) about this philosophy that inspires me and a lot of people to “re-thinking about ‘Ora et Labora’”.

Read More......

A Real Superman from Planet Earth


“You don’t have to be a superman to be great” (Billi P. S. Lim – “Dare to Fail”)

Kalimat di atas merupakan apresiasi dari Billi P. S. Lim, seorang motivator dari negeri jiran Malaysia, dalam bukunya yang berjudul ”Dare to Fail” (“Berani Gagal”) dan ditujukan kepada Christopher Reeve. Aktor yang pernah memerankan tokoh film sekuel superhero “Superman” tahun 1978 – 1987 ini menjadi satu dari sekian banyak tokoh yang dikategorikan sebagai orang-orang luar biasa yang berani menghadapi kegagalan dan tantangan hidup tanpa mengenal kata putus asa ataupun menyerah dalam buku tersebut.

Setiap masa sekarang ini dimana tiap tahunnya diputar film-film bioskop yang bertemakan superhero yang diadaptasi dari tokoh-tokoh fiksi komik terbitan DC Comics maupun Marvel di Amerika Serikat, pikiran saya sejenak selalu saja teringat pada kenangan masa kecil saya saat menonton film superhero pertama yang saya saksikan waktu itu, yaitu film ”Superman”, yang menceritakan jagoan bumi paling tangguh yang berasal dari planet Krypton dan dibintangi oleh Christopher Reeve.

Nyata-nyatanya ternyata kisah hidup aktor yang juga sekaligus berprofesi sebagai sutradara, produser film, dan penulis skenario ini dalam dunia nyata lebih fenomenal dan menimbulkan kekaguman dalam pikiran saya dibanding aksi tokoh yang dibintanginya, Superman. Hal ini juga diakui oleh khalayak ramai dan sebagian besar fans tokoh Superman di seluruh dunia. Serial televisi ”Smallville” yang mengadaptasi penokohan Superman dari latar yang berbeda (baru-baru ini mulai diputar pula di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia) pun memberikan apresiasi kepada Christopher Reeve, dengan memberikannya posisi untuk membintangi karakter yang khusus didedikasikan untuknya, yaitu salah satu profesor pembimbing Clark Kent (calon Superman) dalam salah satu episodenya dan juga sebuah pesan dukacita pula saat sang aktor Christopher Reeve meninggal dunia.

Mengapa Christopher Reeve begitu fenomenal? Bagi saya, dan juga bagi masyarakat banyak, aktor ini telah benar-benar terbukti tangguh saat menjalani hidupnya di dunia nyata. Reeve, yang dilahirkan tanggal 25 September 1952 ini sempat mengalami puncak kejayaan saat membintangi film ”Superman” yang ditayangkan hingga 4 sekuel dalam periode tahun 1978 – 1987.

Setelah masyarakat pecinta film ”Superman” mengalami kejenuhan pasca sekuelnya yang ke-4, Reeve tetap menancapkan eksistensinya di dunia perfilman dan juga kampanye penyelamatan 77 orang pemeran Chili, sutradara, dan dramawan yang menerima vonis hukuman mati dari dikatator Augusto Pinochet akibat karya-karya berisi kritik terhadap rezim Pinochet tahun 1987. Setelah mendapat liputan luas dari media massa, hukuman mati dibatalkan oleh Pinochet, dan Reeve mendapat tiga penghargaan nasional dari Chili.

Reeve tetap membintangi sejumlah film, sampai akhirnya pada bulan Mei tahun 1995 saat usianya 43 tahun, ia mengalami musibah yang merubah nasib hidupnya. Ia terjatuh dari kuda saat mengikuti perlombaan olahraga berkuda lintas alam. Akibat kecelakaan itu ia mengalami kelumpuhan total dan sisa hidupnya dihabiskan di atas kursi roda.

Musibah tersebut berakibat hancurnya karir Reeve dalam dunia perfilman, namun tidak demikian dengan semangat hidupnya. Justru saat itulah ketangguhan mental Reeve diuji dan dibuktikan, bahwa ia mempunyai motivasi hidup yang tinggi, sekuat tokoh ”Superman” yang dibintanginya. Prestasi Reeve sebagai superhero yang sesungguhnya saat itu dimulai; bukan sebagai ”Superman dari Planet Krypton” yang membantu manusia lewat kedahsyatan fisiknya, akan tetapi ”Superman dari Planet Bumi” yang menjadi teladan yang memotivasi lewat kekuatan mentalnya yang luar biasa.

Meskipun ia mengalami cacat tubuh yang oleh sebagian orang mengatakannya sebagai ”siksaan”, Reeve tetap termotivasi untuk menjalani hidup ini dengan bahagia dan mempunyai tujuan baru, yaitu untuk dapat berkontribusi bagi orang lain dan bagi dunia ini dengan segenap daya kemampuan di sisa hidupnya . Ia aktif sebagai juru bicara penderita cedera tulang belakang dan penelitian sel induk, mendirikan Yayasan Christopher Reeve dan Pusat Penelitian Reeve-Irvine, serta menjadi motivator hidup ke berbagai tempat.

Kondisi tubuhnya setelah itu boleh dibilang tidak pernah mengalami peningkatan dan cenderung memburuk, hingga akhirnya ia meninggal dunia tanggal 10 Oktober 2004 di usia 52 tahun akibat serangan jantung yang disebabkan infeksi yang meluas. Sebenarnya beberapa tahun sebelum kematiannya Reeve masih mempunyai impian dan keyakinan untuk sembuh dan mampu berdiri dari kursi rodanya, yang ia tetapkan sebelum usianya mencapai 50 tahun. Sedikit disayangkan memang, keinginannya tersebut tidak terwujud. Bagaimanapun juga ia tetap berkomentar positif mengenai ini saat usia 50 tahun tersebut telah ditempuh, ia masih tetap berkeyakinan ia akan sembuh suatu saat nanti. "So many of our dreams at first seem impossible. Then they seem improbable. And then when we summon the will, they soon became inevitable," menjadi kata-kata favorit yang memotivasi dirinya sendiri dan orang lain pula.

Memang sempat menjadi sedikit pertanyaan dari saya pribadi, apakah Reeve gagal menerapkan Law of Attraction (Hukum Tarik-menarik) ataukah memang hukum itu sendirikah yang gagal? (Hukum Tarik-menarik ini sendiri pernah saya bahas dalam tulisan saya sebelumnya, "Behind 'The Secret'"). Ada beberapa kemungkinan yang hadir dalam pemikiran saya saat ini yang hanya masih merupakan pertimbangan tanpa dasar dan fakta (yang saya rasa bukan dalam kompetensi saya untuk dijelaskan dalam tulisan ini), namun hal inipun seharusnya tidak mengurangi kebesaran prestasi Reeve dalam menjalani hidupnya.

Saya yakin Reeve tetap menjalani hari-harinya dengan perasaan bahagia secara tulus saat itu, karena bagaimanapun juga Reeve telah berkontribusi lebih bagi dunia ini, sesuai dengan tujuan hidupnya pula saat itu. Sesungguhnya ia tidak pernah kalah ataupun gagal, meskipun dengan kematiannya sekalipun. Ketangguhannya menjalani hidup dengan keterbatasan cacat tubuhnya serta semangat yang luar biasa dalam berkontribusi bagi sesamanya benar-benar telah menjadi teladan yang membangun inspirasi banyak orang. Saat mengalami musibah dan tubuhnya tak mampu ditegakkan, ia tetap mampu untuk menegakkan semangat hidupnya. He deserve to be a real superman; not because of his superpower, but his superspirit.

Reeve telah menginspirasi banyak orang karena ini, termasuk saya sendiri. Bukankah seharusnya seperti ”Superman dari Planet Bumi” inilah kita selayaknya memandang dan menjalani hidup kita, pembaca? Reeve telah membuktikan, sesungguhnya tidak ada sesuatu hal pun yang mampu menghalangi kita menikmati anugerah kebahagiaan dan berkontribusi dalam hidup ini.

Catatan: sebuah image ukuran postcard yang bertemakan Superman dengan kata-kata motivasi Christopher Reeve, dapat Anda temukan dalam alamat website: http://img65.imageshack.us/img65/7276/supermanreevequote2fl7.png dan http://homepage.mac.com/johnhood/Pictures/Misc/dreams.jpg

Read More......

Leadership Philosophy from Our Own Country


When starting to learn about leadership, Indonesian people may not search for any theories far away from their own country; because there is a precious philosophy created by one of Indonesian great people themselves named Ki Hajar Dewantara.

Ya, filosofi berharga milik bangsa sendiri ini dijabarkan dalam 3 kalimat bahasa Jawa: ”Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Hingga sekarang, filosofi ini sebenarnya dikenal baik oleh bangsa ini dan telah diajarkan dan dihafal dalam bangku pendidikan Sekolah Dasar (terutama karena semboyan yang terdapat dalam lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia adalah kalimat terakhir dari filosofi tersebut).

Filosofi ini sebenarnya dituangkan Ki Hajar Dewantara, yang kini digelari Bapak Pendidikan Indonesia, untuk ditujukan kepada para pengajar/guru dalam kaitannya saat yang bersangkutan mendirikan Taman Siswa sebagai tempat belajar bagi para pribumi dalam masa penjajahan Belanda. Namun filosofi ini ternyata sangat tepat pula untuk ditempatkan dalam falsafah kepemimpinan, karena sejatinya seorang pemimpin yang melayani bersesuaian dengan figur seorang guru yang mendidik murid-muridnya.

Mungkin bangsa ini terlupa, saat mereka banyak terkesima oleh falsafah-falsafah kepemimpinan dari seberang negeri lain seperti George Washington, Machiavelli, Sun Tzu, dan lain sebagainya; sebenarnya terdapat pula suatu filosofi yang telah merangkum seluruh teori kepemimpinan dari buku setebal apapun di dunia ini yang notabene adalah milik bangsa ini sendiri.

Bagi saya pribadi, filosofi ini benar-benar luar biasa. Tidak ada maksud bagi saya untuk melebih-lebihkan ataupun menjadi chauvimist, namun seseorang yang belajar atau mulai memimpin cukup meresapi ketiga kalimat ini untuk dapat memimpin dengan baik dan sempurna. Oleh karenanya pembaca, dalam tujuan untuk menarik manfaat dari warisan besar bangsa ini, saya mencoba mengupas satu persatu dari ketiga kalimat tersebut:

Kalimat pertama, ”Ing Ngarsa Sung Tuladha” mempunyai makna harafiah: ”posisi di depan dalam rangka memberikan teladan”. Secara jelas maksud dari kalimat ini adalah sebuah posisi yang selayaknya diambil pemimpin, ia haruslah berdiri di depan: sebagai pioneer, teladan, decision maker, dan pembimbing.

Inilah langkah awal seorang pemimpin; mengambil posisi berdiri di depan, yang membedakannya dari rekan-rekan lain yang dipimpin. Dalam beberapa kondisi, posisi di depan dapat dianalogikan dengan predikat jabatan yang lebih tinggi, seorang atasan, ataupun orang yang ”dituakan”. Dalam hal ini pemimpin haruslah mampu membawa yang dipimpinnya untuk mencapai visi kelompok dengan memberikan keteladanan, sikap berani dan rela berkorban, dan bertanggung jawab penuh terhadap arah tujuan kelompoknya.

Menempatkan posisi di depan erat kaitannya dengan amanat dan kepercayaan bagi yang dipimpin, sehingga merupakan hal yang tabu bagi pemimpin apabila ia menempatkan posisinya di depan hanya semata-mata memberikan perintah tanpa teladan dan tanggung jawab, mencari prestasi pribadi, ataupun memanfaatkan kekuasaannya demi tujuan yang tidak berhubungan sama sekali dengan visi kelompok.

Kalimat kedua, ”Ing Madya Mangun Karsa” bermakna harafiah: ”posisi di tengah dalam tujuan menggugah kemauan”. Seorang pemimpin dalam kalimat ini dideskripsikan lebih lanjut untuk mampu mengambil posisi di tengah-tengah orang yang dipimpinnya pula untuk mengayomi, menjalin kebersamaan, dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan.

Setelah pemimpin mampu menempatkan posisinya secara benar di depan, tiba saatnya bagi pemimpin untuk menempatkan diri di tengah-tengah orang yang dipimpinnya untuk bersama-sama meraih visi kelompok. Dalam hal ini pemimpin harus mau berinteraksi dengan orang yang dipimpinnya dengan keterbukaan, mau menerima masukan dan kritik, sanggup memberikan gagasan dan inspirasi bagi yang dipimpinnya, serta dapat merangkul mereka semua dan menggugah semangat untuk meraih tujuan demi kepentingan bersama.

Patut diperhatikan, sebuah pemberian motivasi berjalan paling efektif apabila pemimpin meletakkan posisinya di tengah-tengah mereka, bukan di depan maupun di belakang. Hal ini bersesuaian dengan kaidah ilmu psikologi Neuro Linguistic Programming / NLP (ilmu memasukkan kata-kata ke dalam pikiran) dan hypnosis, dimana kondisi ideal saat objek penerima dapat menerima baik apa yang dikatakan subjek pelaku adalah saat subjek pelaku mengatur kesesuaian (menyamakan) dirinya dengan objek penerima.

Dalam kaitannya sebagai motivator, pemimpin harus mampu untuk menunjukkan semangat dan kegigihannya untuk mencapai tujuan, sikap optimisme, dan pantang berkeluh kesah. Adalah hal yang tabu bagi pemimpin untuk menunjukkan rasa lelah, putus asa, dan tidak fokus terhadap visi kelompok dalam hal ini.

Namun perlu digarisbawahi pula, menempatkan diri di tengah bukan berarti menanggalkan posisinya sebagai pemimpin. Saat pemimpin menempatkan dirinya di tengah, ia tetaplah seorang pemimpin. Dalam kondisi ini, seorang pemimpin haruslah secara taktis membina kendali kesadaran baik kepada dirinya sendiri maupun kelompok yang dipimpinnya atas eksistensi kepemimpinannya.

Kalimat ketiga, adalah ”Tut Wuri Handayani”, yang bermakna harafiah: ”posisi di belakang untuk memberikan dorongan”. Dalam hal ini, pemimpin diamanatkan untuk mampu mendorong orang yang dipimpinnya agar dapat mencapai kemajuan dan berprestasi pula demi kebaikan orang yang dipimpinnya tersebut.

Inilah tugas mulia terakhir bagi sang pemimpin setelah ia mampu menempatkan posisi di depan maupun di tengah. Pemimpin harus pula mengambil posisi di belakang; bukan dalam kerangka ia lari dari tanggung jawab, tapi untuk menempatkan individu-individu dalam kelompok yang dipimpinnya berada di depan untuk memperoleh kemajuan dan prestasi.

Dalam kaitannya dengan kewajiban ini, pemimpin haruslah mampu mendidik dan mengembangkan orang-orang yang dipimpinnya agar terbentuk pula pemimpin-pemimpin baru sehingga tercipta proses regenerasi, atau setidak-tidaknya orang-orang yang dipimpinnya tersebut memperoleh manfaat pula dari kepemimpinan sang pemimpin.

Demikian pula saat pencapaian visi kelompok, pemimpin haruslah menghindarkan sikap superiornya dan mengedepankan orang-orang yang dipimpinnya sebagai penentu keberhasilan. Sehingga sebuah reputasi dan prestasi tidak hanya dikuasai oleh pemimpin saja, tapi seorang pemimpin yang ideal bahkan mau dan mampu mengedepankan orang-orang yang dipimpinnya untuk meraih hal tersebut terlebih dahulu.

Memahami dan menempatkan diri secara benar ketiga posisi di depan, tengah, dan belakang adalah kunci keberhasilan seorang pemimpin; dan ketiga hal tersebut mutlak diperlukan. Pemimpin tidak akan dinyatakan berhasil dalam memimpin apabila ia tidak mampu memahami dan menjalankan bahkan satu saja dari penempatan ketiga posisi tersebut. Dan kesalahan dalam menempatkan posisi tersebut secara benar akan membawa kehancuran kepemimpinan.

Pembaca, benar-benar sebuah filosofi kepemimpinan yang sempurna, bukan? Sekali lagi, ”Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” telah menjadi prinsip dasar kepemimpinan yang bahkan mencakup teori leadership di berbagai buku yang setebal apapun, dan dari belahan dunia manapun.

Read More......

Behind "The Secret"


The Secret gives all the things you want: wealth, health, and happiness.” (Bob Proctor)

Petikan di atas merupakan kalimat pembuka pada bab pertama buku ”The Secret” gubahan Rhonda Byrne, yang mendokumentasikan pendapat para ahli dan profesional dalam bidang-bidang fisika kuantum, psikologi, metafisika, pelatihan (coaching), teologi, filosofi, keuangan, fengshui, kedokteran, serta pengembangan diri mengenai rahasia (secret) terbesar di dunia: Hukum Tarik-menarik (The Law of Attraction).

Dalam kurun waktu 1 tahun ini ”The Secret”, yang digubah dalam sebuah film dokumenter dan buku, telah menarik banyak perhatian dan diperbincangkan, terutama dalam pelatihan dan seminar-seminar motivasi. Dimana prinsip "Hukum Tarik-menarik" membuat perasaan dan pikiran seseorang menjadi nyata dalam kehidupan mereka; Semesta (The Universe) bekerja di antara manusia dalam hubungan fisik, emosi, dan pekerjaan sehari-hari.

Sebenarnya apa yang menjadi dipaparkan dalam film dokumenter dan buku tersebut mengenai Hukum Tarik-menarik bukanlah menjadi hal yang sama sekali baru, namun dengan pemaparan metafora dan cukup provokatif telah membuat ”The Secret” menjadi tema lama dalam kemasan baru yang sangat efektif digunakan dalam membangun pengembangan diri dan motivasi. Berdasarkan pengalaman saya pribadi, sebenarnya memang seperti inilah pengembangan diri dan motivasi dibentuk; sebuah perulang-ulangan konteks yang sebenarnya hanya itu-itu saja (setidak-tidaknya lebih dari satu orang mengatakan hal ini kepada saya), namun ironisnya pula tetap dibutuhkan manusia secara berulang-ulang, sehingga sebuah kemasan baru mempunyai efektivitas yang tinggi dalam memaparkan sebuah wacana lama yang tidak kadaluarsa.

Dalam narasi awal film dokumenter tersebut dan dalam bab pendahuluan pada bukunya, secara terbuka Rhonda Byrne mengakui hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru, namun merupakan ”rahasia masa lampau yang disembunyikan oleh orang-orang besar yang berhasil setelah mempraktekannya”. Ia terinspirasi pada tenggat waktu satu tahun sebelum film dokumenter itu dibuat, dimana ia mengalami depresi besar saat ayahnya meninggal, hubungannya dengan orang-orang lain berantakan, dan ia kewalahan dalam kerjanya. Saat itu ia menerima sebuah buku yang dihadiahkan oleh salah seorang putrinya, buku berusia seratus tahun yang memuat kilasan sebuah Rahasia Besar-Rahasia Kehidupan. Meskipun ia tidak menjelaskan buku apa yang dimaksud, kemungkinan buku tersebut adalah "The Science of Getting Rich" (Ilmu untuk Menjadi Kaya) karangan Wallace D. Wattles tahun 1910 atau Master Key System (Sistem Kunci Utama) karangan Charles F. Haanel tahun 1912. (E-book kedua buku tersebut dapat di-download pada website resmi “The Secret”: www.thesecret.tv).

Law of Attraction (LoA) telah menjadi pembahasan yang telah lama diungkap, dimana sebab akibat dari hukum tarik-menarik dapat dijelaskan menurut logika fisika kuantum. Sebelum ”The Secret” diluncurkan, tahun 2006 di Indonesia telah tercetus prinsip “Mestakung” (Semesta Mendukung) oleh Prof. Yohanes Surya, Ph.D dalam bukunya “Mestakung – Rahasia Sukses Juara Dunia Olimpiade Fisika” yang mempunyai gagasan serupa dan dialaminya sendiri saat membawa tim Indonesia menjadi juara dunia Olimpiade Fisika Internasional di Singapura tahun 2006.

Menurut “The Secret”, segala sesuatunya adalah energi, termasuk manusia sebagai makhluk spiritual. Lebih lanjut lagi, manusia sebagai salah satu bentuk energi mempunyai daya magnetis untuk menarik energi lain secara elektris dan membawa diri sendiri ke energi lain tersebut secara elektris pula. Melalui prinsip tersebut, maka manusia sebenarnya mampu mencapai apa saja yang ia inginkan dan menciptakan masa depannya sendiri hanya dengan memikirkannya terlebih dahulu melalui 3 langkah sederhana sebagai berikut:

Pertama, adalah “Meminta” (“Ask”). Secara metaforis hal ini disebut sebagai meminta apa yang diinginkan kepada semesta dan dilakukan dengan mengetahui secara detil apa yang diinginkan serta memvisualisasikannya ke dalam pikiran.

Kedua, adalah ”Percaya” (”Believe”). Langkah ini dilakukan dengan melibatkan tindakan, pembicaraan, dan pemikiran seakan-akan manusia sudah menerima apa yang ia minta. Bahkan untuk memulainya, manusia haruslah berpura-pura sebagaimana ia sudah mendapatkannya.

Ketiga adalah ”Menerima” (”Receive”). Langkah ini melibatkan perasaan seperti yang dirasakan saat keinginan tersebut telah terwujud, yaitu rasa syukur dan bahagia karena sedang menerima apa yang diharapkannya.

Lebih lanjut lagi, ”The Secret” menjabarkan dalam proses pengharapan, manusia tidaklah perlu menemukan dan memikirkan bagaimana caranya itu akan dapat terwujud namun menyerahkannya saja pada Semesta (Universe).

Seperti yang telah saya ungkapkan di atas, terlepas dari hal yang mana sebenarnya ide ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru, menurut hemat saya ”The Secret” sangat memberikan kontribusi positif dalam pembentukan diri dan pengembangan motivasi yang mengarahkan manusia untuk tidak pernah berpikir untuk berputus asa dalam menjalani hidup ini. Namun seperti layaknya sebuah ide, pemahaman tentang apa yang termuat dalam ”The Secret” sangat rentan sekali untuk disalahtafsirkan (bahkan sebuah kitab suci pun pula dapat menimbulkan tafsiran yang salah bagi sebagian orang). Penjabaran ”The Secret” yang metaforis dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda (kalau saya tidak boleh menyebutnya dengan istilah ”keliru”). Berikut beberapa catatan dan opini pribadi saya sehubungan dengan itu:

Pertama, kegiatan visualisasi diri yang dianjurkan ”The Secret” dalam langkah pertama yaitu ”Meminta” (”Ask”) sama seperti arah motivasi manusia dalam kajian ilmu Neuro Linguistic Programming / NLP (ilmu untuk memasukkan kata-kata ke dalam pikiran manusia) yaitu ”gaining pleasure” (mencari kesenangan). Namun masih terdapat satu hal lagi arah motivasi manusia yang tidak diungkap, yaitu ”avoiding pain” (menghindari kesengsaraan).

Bagi beberapa kalangan, hal ini mungkin membingungkan saat ”The Secret” menyatakan bahwa Hukum Tarik-menarik tidak memperhitungkan kata ”jangan” atau ”tidak” atau ”bukan”, sehingga ketika manusia mengatakan kata-kata penolakan, kata-kata inilah yang diterima oleh Hukum Tarik-menarik.

Pendapat tersebut sesungguhnya benar adanya, dan diyakini pula dalam NLP yang mana memahami bahwa pikiran bawah sadar manusia tidak mampu memfilter kata ”jangan”, ”tidak”, ataupun ”bukan”. Namun dalam pembangunan motivasi manusia, kegiatan ”avoiding pain” merupakan arah tindakan yang tetap berguna, bahkan bagi sebagian orang lebih efektif untuk dilakukan.

Lalu bagaimanakah yang terjadi saat dalam seminar dan pelatihan motivasi, sering dilakukan kegiatan meditasi atau hipnoterapi yang juga menitikberatkan kegiatan ”avoiding pain”? Sebenarnya tidak ada yang salah ataupun bertentangan dalam hal ini, dengan catatan ”avoiding pain” dilakukan terlebih dahulu pada sesi awal kegiatan meditasi atau hipnoterapi tersebut, baru sesudahnya penitikberatan pikiran dialihkan ke kegiatan ”gaining pleasure”. Sehingga tindakan ”avoiding pain” tidak mengendap dalam pikiran bawah sadar manusia dan segera digantikan oleh ”gaining pleasure”, sehingga kembali bersesuaian dengan Hukum Tarik-menarik yang diharapkan.

Kedua, ”The Secret” tidak mengungkap secara jelas proses pengharapan yang layaknya diwujudkan pula dengan tindakan realistis untuk meraih harapan yang diinginkan. Penjabaran yang menyatakan bahwa manusia tidaklah perlu menemukan dan memikirkan caranya mengundang potensi untuk ditafsirkan tidak adanya ”tindakan” (action) dari masing-masing individu yang melakukannya.

Seperti yang diungkapkan oleh pakar motivasi Anthony Robbins mengenai pencapaian pribadi lewat bukunya ”Unlimited Power” sedianya harus terdapat sebuah lingkaran tak terputus yang terbentuk lewat proses ”Kepercayaan” (Belief), Potensi (Potent), Tindakan (Action), dan Hasil-hasil (Results) yang akan menumbuhkan lagi kepercayaan tersebut.

Meskipun proses Tindakan (Action) yang seharusnya menjadi proses wajib tersebut tidak dimuat dalam ”The Secret”, bukan berarti “The Secret” tidak menganjurkannya. Terlebih lagi meskipun manusia tidak perlu memikirkan cara bagaimana itu dapat terwujud, bukan berarti manusia tidak perlu mengusahakannya. Sebagai catatan, definisi langkah kedua yaitu ”Percaya” (”Believe”) yang telah disebutkan di atas adalah melibatkan tindakan, pembicaraan, dan pemikiran seakan-akan manusia sudah menerima apa yang ia minta. Patut digarisbawahi secara jelas kata ”tindakan” untuk tidak menyesatkan kita dalam hal ini.

Ketiga, langkah ”Percaya” (”Believe”) dalam "The Secret, apabila tidak dipahami dengan baik bahkan dapat menimbulkan efek kontradiktif dari pemikiran bawah sadar manusia itu sendiri dan mengakibatkan kegagalan. Menurut Michael J. Losier, seorang trainer dan praktisi Neuro Linguistic Programming / NLP dalam bukunya yang berjudul ”Law of Attraction”, Hukum Tarik-menarik akan selalu merespon gerakan yang didasari oleh perasaan subjek pelaku, bukan oleh kata-kata yang diucapkan. Maka subjek pelaku perlu menyadari pula getaran pikiran yang ditimbulkan dari kata-katanya, apakah merupakan getaran yang menimbulkan nuansa positif bagi pikiran, ataukah getaran yang sebaliknya menimbulkan nuansa negatif.

Oleh karenanya, meskipun teknik afirmasi (mengucapkan kata-kata positif untuk membangun diri) tetap penting pula dan merupakan bagian dari teori NLP, sedianya patut diperhatikan pula bahwa sebuah penegasan / kata-kata (afirmasi) positif pun mampu memberikan getaran yang negatif kepada subjek pelaku. Sebagai solusinya, Michael J. Losier menganjurkan untuk menambahkan kata-kata: ”Saya sedang dalam proses...”

Penegasan Michael J. Losier tersebut seakan-akan tidak mendukung adanya kegiatan ”berpura-pura” yang dianjurkan dalam ”The Secret”. Kata-kata ”sedang dalam proses...” akan melemahkan kegiatan untuk ”berpura-pura seakan-akan pelaku sudah mendapatkannya”.

Menurut pendapat saya pribadi, meskipun hal ini tetap saja dapat diperdebatkan, tidak ada yang bertentangan dalam kedua ide tersebut. Ide Michael J. Losier diungkapkan sebagai solusi saat teknik afirmasi tersebut mengalami pertentangan dari pikiran bawah sadar si pelaku, sementara kegiatan afirmasi sendiri sebenarnya dilakukan untuk merekayasa pikiran bawah sadar manusia. Apa yang terjadi saat pikiran bawah sadar manusia menolak secara serta-merta afirmasi yang diberikan? Michael J. Losier lebih memberikan saran untuk melakukan tindakan persuasif terhadap pikiran bawah sadar dengan menstimulasi perlahan-lahan; sementara stimulasi tersebut dititikberatkan oleh ”The Secret” melalui langkah ketiga, ”Menerima” (”Receive”), yang mana subjek pelaku haruslah melibatkan perasaan seperti yang dirasakan saat keinginan tersebut telah terwujud. Perasaan yang dilibatkan ini, yaitu rasa syukur dan bahagia, akan membuka pikiran bawah sadar manusia untuk menerima afirmasi yang diberikan.

Keempat, kalimat bahwa hukum tarik-menarik tidak pernah meleset dan tidak terkecuali dapat menimbulkan pemikiran bahwa apapun yang akan kita pikirkan pasti terlaksana. Sadar ataupun tidak, pernyataan ini dapat menimbulkan sikap fanatisme berlebihan dari pelaku dan bahkan ekspetasi yang berlebihan pula.

Hal yang patut mendapat catatan dan perlu dijadikan dasar pemikiran adalah pernyataan lebih lanjut dari ”The Secret” lewat kalimat Dr Joe Vitale: ”Saya tidak memiliki buku aturan yang mengatakan bahwa mereka akan membutuhkan waktu 30 menit atau 3 hari atau 30 hari. Ini adalah soal penyelarasan Anda dengan Semesta sendiri.”

Ini selayaknya memberikan makna yang sama yang selalu didengung-dengungkan oleh banyak motivator: ”Dalam menjalani hidup ini, sebenarnya Anda tidak pernah gagal. Masalahnya hanyalah waktu.”

Terakhir, patut dicermati pula pernyataan dalam bab 9 ”The Secret” berjudul “The Secret to the YOU” (“Rahasia Anda”) yang memuat definisi “Universe” (Semesta) yang dihubungkan secara keilahian dengan individu manusia sendiri. Hal ini menjadi filosofi terdalam yang menyangkut eksistensi manusia dan hubungannya dengan Semesta, dan tentu saja cukup rentan saat ditubrukkan secara harafiah ke religi masing-masing.

Saya tidak membahas ini secara mendalam karena hanya akan mengundang perdebatan dan polemik tiada akhir; namun saya pribadi merasakan tidak ada hal yang perlu menjadi kontroversi dalam pembahasan bab ini, bahkan menurut pengamatan (sementara) saya terhadap sudut religi manapun. Malahan, ”The Secret” saya anggap mampu menggambarkan perwujudan manusia dan hubungan dinamisnya dengan causa prima Pencipta secara cerdas dan filosofis tanpa harus bersinggungan secara keras dengan kepercayaan masing-masing.

Namun bagaimanapun juga, hal yang seperti ini tetap saja potensial untuk menjadi kontroversi. Saran saya, pembaca, pergunakanlah akal sehat dan nurani jernih saat mempertimbangkan filosofi ”The Secret” pada bab ini. Apabila ternyata itu tidak bersesuaian dengan hati Anda, tinggalkanlah saja bab ini dan Anda tetap dapat memperoleh manfaat tanpa harus mengindahkan filosofi yang tidak bersesuaian tersebut.

Selamat menikmati Hukum Tarik-menarik!

Catatan:
Materi ringkasan ”The Secret” dalam PowerPoint Slide dapat Anda download lewat URL: http://www.freedrive.com/file/204519

Read More......

Leadership with Love by Wu Zi


Dear readers, the topic I want to share you for this day is about the essential of leadership. Here I share you my favorite story that always be told when I started to explain the first step to leads people for my managers in the office in my meeting time or briefing:

Pada tahun 440 SM di negeri China, pada zaman Berperangnya Negara-negara Bagian, hiduplah seorang Jenderal Pasukan sekaligus Pengurus Negara yang bernama Wu Zi. Ia lahir di Negara Bagian Wei, namun bakat dan kemampuannya baru terlihat maksimal di Negara Bagian Chu setelah sebelumnya mengalami beberapa kali pasang surut karir di beberapa negara bagian akibat fitnah dan perselisihan.

Menurut cerita sejarah, ia tidak pernah kalah dalam pertempuran. Ia dikenal karena eksploitasi militer serta administratifnya yang menonjol. Dalam berbagai pembahasan mengenai strategi militer klasik China, namanya banyak dibandingkan dengan Sun Tzu, ahli strategi China klasik yang terkenal dan penulis buku Art of War, karena Wu Zi juga menulis buku tentang persiapan dan strategi-strategi tempur untuk situasi taktis tertentu, yang disebut Art of Tactics: Winning Strategies of Wu Zi.

Apa yang akan saya ceritakan ini nantinya bukanlah membahas tentang apa yang Wu Zi tulis dalam buku strateginya, melainkan adalah suatu peristiwa yang menunjukkan kebesarannya sebagai seorang pemimpin dan sesuai dengan apa yang ia dengung-dengungkan dalam buku teorinya tersebut.

Saat menjabat sebagai jenderal, Wu Zi dikenal sebagai pemimpin yang mengasihi pasukannya, hal ini seperti apa yang ia catat dalam buku teorinya: ”Kasihilah orang-orangmu seperti layaknya puteramu sendiri”. Wu Zi benar-benar menjalankan apa yang dikatakannya; ia makan makanan yang sama dengan pasukannya, mengenakan pakaian yang sama, dan tinggal dalam tenda yang sama.

Suatu hari, ketika memimpin pasukannya bertempur, Wu Zi mendapati salah seorang prajuritnya yang terluka karena terkena racun pada kakinya. Dengan tanpa ragu-ragu, Wu Zi menyedot sendiri racun tersebut keluar untuk tidak menjalar ke anggota tubuh yang lain. Setelah prajurit itu dirawat lebih lanjut, akhirnya ia sembuh kembali dan sangat terkesan dengan kebaikan Wu Zi sehingga menceritakan pengalaman tersebut kepada teman-temannya dengan perasaan haru bercampur bangga.

Kabar tersebut tak lama kemudian sampai pula ke desa di mana ibu prajurit tersebut tinggal. Saat ibunya mendengar cerita kebaikan Wu Zi kepada anaknya tersebut, tak disangka-sangka ibu tua itu berteriak dan menangis keras, ”Anakku yang malang! Aku takkan berjumpa lagi dengannya!”

Tetangga-tetangga rumah dari ibu tersebut heran dan bertanya, ”Bukankah Ibu seharusnya bersenang hati karena Jenderal mengasihi anak Ibu sehingga ia rela menyedot racun itu sendiri? Apa yang Ibu sedihkan ketika putera Ibu dipimpin oleh jenderal yang luar biasa seperti itu?”

Ibu itu menjawab, “Ya, jenderal tersebut juga bertindak sama kepada suamiku ketika kakinya terkena racun. Karena ketulusan dan kebaikan Jenderal Wu Zi yang seperti itulah, suamiku menjadi begitu tergubah sampai akhirnya bertarung dengan mati-matian dan penuh kesetiaan sehingga ia tewas terbunuh. Hal yang sama tak lama lagi akan terjadi pula pada anak laki-lakiku!”

Pembaca, kisah ini benar-benar cerita yang saya anggap luar biasa dan selalu saya tempatkan dalam peringkat pertama kisah kepemimpinan yang diteladani. Cerita yang mungkin sedikit serupa dengan kisah sejarah anak-anak sekolah dasar Republik Rakyat China (RRC) yang mengagung-agungkan Mao Zedong saat ia rela menanggalkan jubahnya dalam Long March yang penuh badai salju untuk kemudian diberikan kepada anak buahnya yang mulai lemas karena kedinginan. Atau pula kisah Yesus Kristus yang membasuh kaki murid-murid-Nya dalam sebuah perjamuan terakhir menjelang kematian-Nya.

Bagi saya, memimpin dengan cinta yang tulus kepada semua yang dipimpin adalah suatu esensi kepemimpinan yang paling dasar; adakah yang sekiranya dapat melebihinya, pembaca?

Read More......

Learn from Japan


Readers, today I want to share you a topic that was briefed in my general meeting yesterday. In ordered to motivate my officemates, I told them about my great appreciation to an incredible country in Asia that motivated me so much in the end of the last year: Japan.

Akhir tahun lalu, lagi-lagi Indonesia kembali dilanda bencana alam di berbagai tempat, kali ini adalah bencana banjir dan tanah longsor yang melanda beberapa daerah di Indonesia. Rasanya belum hilang dari ingatan pula bencana besar tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara 2 tahun yang lalu, yang kemudian disusul dengan tragedi gempa di Yogyakarta dan sekitarnya. Tak lama kemudian terjadi musibah lumpur panas di Porong, Jawa Timur, dan entah berapa banyak lagi kronologis bencana alam yang tertinggal dalam keterbatasan memori ingatan saya secara spontan saat ini.

Terbersit sebuah pertanyaan waktu itu, apakah negeri ini benar-benar terdiskriminasi oleh Yang Di Atas? Sehingga bencana alam yang ada ini benar-benar dimaksudkan untuk meruntuhkan semangat, harapan, dan keyakinan bangsa ini untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Pertanyaan itu terus merasuk dalam diri saya, hingga akhirnya terpikir kesan tidak ada negara lain yang sama mengenaskannya seperti Indonesia ini, hingga akhirnya pikiran saya menemukan suatu negara yang bisa dibilang pernah bernasib sama, yaitu Jepang.

Jepang? Ya, Jepang. Di balik kemashyuran negara Jepang saat ini, wilayah Jepang sebelumnya cukup dikenal sebagai daerah yang berpotensi rawan terhadap bencana alam, dengan kondisi geografisnya sebagai negara kepulauan dan gunung-gunung berapinya yang masih aktif. Betapa bencana banjir, gunung meletus, gempa bumi baik vulkanik maupun tektonik, dan tsunami (bahkan bencana alam yang ini merupakan kosakata asli bahasa Jepang), cukup familiar bagi masyarakat Jepang di masa lampau dan bahkan masih tetap berpotensi di masa sekarang. Namun secara berangsur-angsur masalah-masalah ini mampu diatasi atau pun diminimalisir resikonya dengan kesiapan drainase, pembentukan konstruksi tahan gempa, dan lain-lain.

Hal yang paling fenomenal pula adalah kejatuhan Jepang pasca Perang Dunia II tahun 1945. Jepang yang saat itu berusaha mengkukuhkan supremasinya sebagai negara pemimpin Persemakmuran Asia Timur Raya, terpaksa menyerah tanpa syarat setelah Amerika Serikat meluncurkan bom atomnya ke kota Hiroshima dan Nagasaki. Betapa saat itu Jepang dilanda kejatuhan yang luar biasa dahsyat di berbagai sektor, ditambah pula beban-beban hutangnya untuk melunasi beaya kerugian perang, sebagai konsekuensi sebagai negeri kalah perang.

Bayangkan apabila Anda hidup di Jepang saat itu. Tampaknya tidak ada secercah kenikmatan untuk menjadi rakyat negara yang kalah perang, ditambah lagi potensi bencana alamnya tergolong cukup rawan.

Namun apa yang terjadi sekarang ini, pembaca? Setahap demi setahap pula, Jepang memulihkan diri, dan kembali menancapkan kukunya sebagai macan Asia. Mungkin propaganda Persemakmuran Asia Timur Raya hanyalah tinggal kenangan, tapi apa yang dilakukan Jepang saat ini telah menunjukkan supremasinya sebagai salah satu negara terbesar di Asia. Dengan sektor industri sebagai ujung tombaknya, Jepang telah dapat disejajarkan bahkan dengan negara-negara maju di belahan dunia Barat. Hingga kini Jepang bahkan menjadi negara pengekspor terbesar untuk negara adidaya satu-satunya di dunia saat ini, yaitu Amerika Serikat.

Sungguh luar biasa prestasi yang ditunjukkan oleh bangsa Jepang. Terlepas dari traumatis nasionalisme era pra-kemerdekaan bagi bangsa kita, rasanya kita tidak perlu segan untuk menelaah dan meniru karakteristik bangsa tersebut untuk kemudian digunakan sebagai landasan dan tatanan kita untuk menuju hidup lebih baik.

Beberapa hal yang telah saya telaah sehubungan dengan karakteristik unggul bangsa yang menyebut dirinya Nippon itu beberapa di antaranya adalah:

Pertama, bangsa Jepang adalah bangsa pekerja keras dan mempunyai disiplin tinggi. Mereka bangga disebut workaholic oleh masyarakatnya. Umumnya, para pekerja Jepang, baik pekerja kasar hingga staf eksekutif, mempunyai rasa malu apabila mereka meninggalkan tempatnya lebih awal meskipun jam kerjanya telah berakhir. Para istri-istri pekerja Jepang pun mempunyai kecenderungan untuk lebih berbangga hati saat suami mereka pulang larut malam.

Mereka mempunyai kedisiplinan yang telah tertanam dari prinsip samurai. Meskipun semua laki-laki Jepang rata-rata minum sake, mereka hampir tidak pernah meminumnya saat siang hari karena pekerjaan mereka masih menunggu.

Anda cermati pula pembaca, di antara cabang-cabang beladiri yang dipertandingkan di Asian Games atau Olimpiade, beberapa di antaranya merupakan sumbangsih beladiri yang berasal dari Jepang seperti judo, karate, aikido, dan lain-lain. Sementara cabang beladiri menjadi budaya umum masyarakat Jepang, seiring pulalah kedisiplinan mereka tertanam sejak dini.

Kedua, bangsa Jepang merupakan bangsa yang kreatif, dan lewat kekreatifannya tersebut mereka mampu menggubah sesuatu menjadi lebih baik. Mata pelajaran kreatifitas dasar yang diajarkan dalam pendidikan anak yaitu melipat kertas, ternyata sudah beredar luas di masyarakat Jepang sejak dahulu kala lewat seni origami. Bangsa Jepang yang dulu dikenal sebagai bangsa dengan tinggi badan rata-rata, mampu menjadikan seni bonsai sebagai keunikan tanaman hias mereka. Demikian juga dengan seni tatanan rambut mereka sekarang ini yang dikenal dengan harajuku style untuk mengimbangi mode Barat. Tak kurang lagi pula pria Jepang dikenal sebagai pria yang paling metroseksual di dunia, untuk mengatasi kelemahan fisik mereka saat remaja wanita Jepang mulai mengagumi pria-pria Barat.

Tak usah lagi disinggung mengenai kekreatifan Jepang di bidang industri dan teknologi. Pembahasan mengenai robot, produksi otomotif dan alat-alat elektronik Jepang terasa sudah menjadi biasa bagi kita.
Sama pula halnya dalam seni kartun Jepang yang mempunyai warna tersendiri, yaitu manga dan yang cukup kontroversial adalah hentai yang bernuansa seksual. Berkaitan dengan hal ini, negara Jepang dikenal pula sebagai negara dengan penduduk yang berperilaku dalam penyimpangan seksual yang cukup tinggi, yang dapat disaksikan dalam film biru dengan kategori XXX-rated, dan juga ketersedianya tempat-tempat pemuasan hasrat seksual yang menyimpang di berbagai tempat di Jepang.

Tak salah lagi, kekreatifitasan mereka untuk selalu ingin tahu dan mencoba sesuatu yang lebih baru (dalam batas-batas di luar kontroversial), merupakan salah satu keunggulan karakteristik yang menjadikan mereka unggul.

Karakteristik unggul bangsa Jepang yang ketiga adalah sikap loyalitas mereka terhadap suatu hal yang ditekuni, yang tertanam dalam semangat bushido, sehingga mereka sangat bertanggung jawab penuh terhadap apa yang menjadi tugas mereka. Secara kontroversial pula, budaya harakiri yaitu bunuh diri menjadi masyarakat Jepang zaman dahulu kala sebagai perwujudan rasa malu mereka apabila gagal menjalankan kewajibannya.

Keempat adalah sifat bangsa Jepang yang mau belajar. Anda dapat menyaksikan sendiri betapa budaya membaca menjadi kebiasaan sehari-hari bangsa Jepang yang dapat ditemui di tempat perhentian sementara seperti di terminal, ruang tunggu, dan bahkan saat mereka berada dalam kereta api subway, bus, dan tempat-tempat lain. Budaya membaca ini merupakan salah satu keunggulan yang dibanggakan masyarakat Jepang.

Orang Jepang benar-benar memperhatikan faktor pendidikan. Mereka, terutama kaum pria (karena faktor gender kebudayaan), selalu menghindari predikat bodoh dalam masyarakatnya. Hal ini dipandang sebagai aib yang memalukan. Pemerintahan Jepang telah lama pula menaruh minat yang besar terhadap pendidikan rakyatnya, terutama sejak Restorasi Meiji tahun 1868. Konon pula, saat mendengar berita pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki, hal yang pertama kali ditanyakan oleh Kaisar Jepang bukanlah berapa jenderal atau amunisi yang masih ada, tetapi berapa gurukah yang masih tersisa.

Sifat bangsa Jepang yang mau belajar ini berkaitan pula dengan karakteristik unggul mereka yang lain, yaitu sifat kompetitif, ambisius, dan berusaha menjadi lebih baik. Ada sebuah prinsip hidup yang dikenal secara mendalam bagi masyarakat Jepang, yaitu prinsip Kaizen, yang bermakna harafiah improvisasi berkelanjutan. Prinsip Kaizen menitikberatkan pada suatu pola pandang untuk selalu berubah ke arah yang lebih baik. Prinsip ini pula menjadi acuan dalam pola manajemen bisnis modern saat ini.

Seorang pakar motivasi terkenal Amerika Serikat, Anthony Robbins, bahkan memberikan apresiasi lebih terhadap prinsip Kaizen. Ia menyatakan bahwa kosakata Kaizen yang tidak ada persamaan katanya dalam Bahasa Inggris ini merupakan prinsip utama dalam pembangunan diri. Sehingga dalam bukunya "Awaken the Giant Within", ia perlu memperkenalkan istilah CANI (diucapkan seperti melafalkan ”kuhn-Eye” dalam bahasa Inggris) untuk mengadopsi kosakata Kaizen ini, yang adalah singkatan dari Constant and Neverending Improvement (Peningkatan yang Konstan dan Terus-menerus).

Pembaca, mungkin masih banyak hal lagi karakteristik unggul lain dari bangsa Jepang yang tidak termuat dalam tulisan ini. Tapi rasanya kelima penjabaran karakteristik khas tersebut telah lebih dari cukup untuk diserap dan kemudian diteladani dalam membawa kehidupan yang lebih baik bagi kita sendiri di masa yang akan datang.

Read More......

A Tribute to Choi Yo-sam


Dear readers, in my 1st post in this blog, I want to share about Choi Yo-sam, 33 years old, who died 2 days ago after collapsing during a boxing fight on Christmas Day. In my humble opinion, his heroic struggle to win the fight have to be appreciated. It makes a big inspiration for me.
Here is the complete story:


Hari ini, lewat surat kabar dan media internet saya membaca sebuah kisah tragis tentang kematian seorang petinju Korea Selatan, Choi Yo-sam, setelah mengalahkan petinju Indonesia Heri Amol dalam perebutan gelar juara kelas layang WBO Intercontinental pada tanggal 25 Desember lalu di Seoul. Choi Yo-sam, sebuah nama yang belum pernah saya ketahui ataupun saya dengar sebelumnya. Tepatnya baru saya ketahui pasca Hari Natal kemarin dari surat kabar setelah ia dinyatakan mati suri oleh pihak rumah sakit Asan Medical Centre 1 hari pasca pertarungannya tersebut karena mengalami gegar otak. 3 Januari 2008, akhirnya ia meninggal dunia.

Suatu kenyataan ironis bagi Choi Yo-sam setelah keberhasilannya memenangkan pertarungan tersebut. Di ronde ke-12, setelah keunggulan Choi Yo-sam pada 11 ronde sebelumnya, sebuah kontradiksi dialaminya. Mungkin karena faktor kelelahan fisik yang dialaminya dalam usianya yang sudah 33 tahun. Choi kewalahan dan akhirnya terpukul jatuh pada detik-detik menjelang berakhirnya ronde ke-12. Dalam detik-detik terakhir tersebut Choi berhasil bangkit kembali dan menuntaskan perlawanannya meskipun hanya beberapa saat saja. Setelah ronde ke-12 berakhir, ia kolaps di atas ring dan harus diangkat dengan tandu untuk kemudian dibawa ke rumah sakit. Ia tetap dinyatakan menang karena dominasinya pada 11 ronde awal, dan keunggulannya ini diakui pula secara terbuka oleh Pino Bahari, promotor Heri Amol.

Hal yang luar biasa bagi saya adalah dedikasi Choi untuk menuntaskan pertarungannya di atas ring, setelah ia dipukul KO lawannya menjelang berakhirnya ronde 12. Meskipun ada sebagian pengamat yang memperkirakan bahwa cedera Choi kemungkinan merupakan cedera lama, namun hal tersebut tidak menghambat saya untuk meberikan apresiasi sebesar-besarnya terhadap Choi. Ia tetap berkeinginan besar untuk bangkit kembali dan tidak merelakan kemenangannya yang sudah di depan mata. Keputusannya untuk menuntaskan pertarungan dan mempertahankan kemenangan patut diacungi jempol. Bagi beberapa orang mungkin itu merupakan kisah tragis, akan tetapi saya yakin, setidak-tidaknya bagi saya sendiri, itu bukanlah kisah tragis melainkan fantastis yang membawa bangga nama keluarga, pendukungnya, dan juga negaranya.

Pembaca, seberapa seringkah dalam kesulitan kita selalu mengatakan pada diri kita sendiri: 'Aku sudah berusaha maksimal'?
Berapa kali kita putus asa, menyerah, dan melakukan pembenaran diri dengan mengatasnamakan alasan 'pasrah' padahal sebenarnya usaha kita belumlah apa-apa, atau bahkan ironisnya mungkin kita belum berusaha apa-apa?
Kapankah terakhir kalinya Anda mengalami situasi saat pada awalnya berikthiar 'siap berjuang hingga titik-darah terakhir untuk mencapai cita-cita', tapi kemudian saat menjalaninya dan kemudian mengalami hambatan dalam perjalanan realita, gairah untuk mencapai tujuan tersebut tiba-tiba padam?

Kisah Choi seharusnya menjadi inspirasi bagi kita semua. Dalam hambatan, saat kita memutuskan untuk menyerah, mungkin perjuangan kita sebenarnya belumlah seberapa. Kita terlalu mudah memberikan limitasi 'maksimal' dalam proses perjuangan kita dan kemudian menyerah sebelum keinginan kita terealisasi.

Mungkin ada sebagian dari Anda yang menganggap bahwa perjuangan Choi toh sia-sia karena dibayar dengan nyawanya, pendapat yang sah-sah saja. Tapi bayangkan kemungkinan ini: Saat terjatuh di akhir ronde ke-12 ia mengambil keputusan untuk tidak berdiri kembali, menyerah kalah, dan cedera otak tersebut tetap menuntaskan usianya. Apa yang akan terjadi, pembaca?

Namanya hanya dikenang sebagai petinju yang mengalami kematian di atas ring, tidak lebih dari itu. Ia tidak lagi menuntaskan usianya sebagai seorang juara, dan hanyalah sebagai juara yang kehilangan mahkota. Terlebih lagi, namanya tidak akan pernah saya kenal, tidak akan dibanggakan lagi oleh penggemarnya, dan dikenang oleh masyarakat negaranya.

Dedikasi Choi ternyata tidak hanya itu saja. Setelah kematiannya, pihak keluarga memutuskan untuk mendonorkan organ tubuh Choi, termasuk jantungnya, kepada enam orang yang membutuhkannya. Choi tidak mati sia-sia, ia telah menuntaskan perjalanan hidupnya dengan kisah sukses dan memberikan arti kepada sesamanya.

Pembaca, jangan pernah biarkan cita-cita Anda memudar sebelum Anda mencapainya.

Read More......